ANDA PENGUNJUNG KE:

Tuesday, February 5, 2019

Asuhan Keperawatan Pasien dengan Nyeri

loading...

PENGELOLAAN PASIEN DENGAN NYERI
“PAIN MANAGEMENT”





Disusun Oleh:
Donny Nurhamsyah
NPM. 220120170010









PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu alasan paling umum pasien datang ke Rumah Sakit khususnya IGD (Instalasi Gawat Darurat) adalah karena keluhan nyeri yang dialami. Keluhan nyeri pada pasien biasanya diikuti dengan kondisi penyerta seperti trauma. Penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 75% pasien yang datang ke IGD dikarenakan mengalami keluhan utama yang berkaitan dengan nyeri (Downey & Zun, 2010).
Satu pasien dengan pasien yang lain memiliki tingkat nyeri yang berbeda meskipun dengan kondisi penyebab yang sama. Hal tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa tingkat nyeri sangat subjektif dirasakan oleh masing-masing pasien. Untuk menentukan tingkat nyeri seseorang, rumah sakit memiliki standar khusus diantaranya dengan melakukan pengkajian menggunakan instrumen skala nyeri. Instrumen yang biasanya digunakan yaitu VAS (Visual Analog Scale), NRS (Numeric Rating Scale) dan Face Rating Scale. Instrumen tersebut biasanya digunakan sesuai dengan kondisi pasien, misalnya pasien anak, dewasa dan pasien tidak sadar (Guru & Dubinsky, 2000).
Indikator yang sering diterapkan di IGD adalah menggunakan NRS dimana memiliki skor 1 sampai 10. Kriteria pembagian 1-3 tingkat nyeri ringan, 4-6 tingkat nyeri sedang, 7-9 tingkat nyeri berat dan 10 tingkat nyeri tak tertahankan (Hjermstad et al., 2011). Indikator nyeri yang didapat, berguna untuk melihat respon tubuh menghadapi suatu masalah dan sebagai pertimbangan dalam pemberian terapi khususnya terapi farmakologi anti nyeri untuk memberikan kenyamanan kepada pasien.
Selain itu, nyeri juga dapat didefinisikan bahwa terjadinya kerusakan jaringan yang aktual atupun potensial. Pada pasien yang datang ke IGD, nyeri berguna sebagai sebuah alarm bahwa tubuh sedang mengalami kerusakan jaringan ataupun terjadinya proses inflamasi. Untuk memberikan terapi dini pada nyeri, terdapat 4 hal penting yang harus diperhatikan diantaranya adalah intensitas nyeri, pasien, patologi dan kekhasan lokal (Galinski & Adnet, 2007).
Secara garis besar, nyeri dibagi menjadi 2 yaitu nyeri akut dan nyeri kronis yang dibedakan melalui onset nyerinya dan tanda klinisnya. Nyeri akut yaitu nyeri yang dipicu oleh penyakit atau cedera tertentu, menggambarkan kondisi biologis dan aktifnya sistem saraf simpatis. Sedangkan nyeri kronis merupakan nyeri yang muncul melebihi waktu normal penyembuhan. Nyeri kronis bisasanya timbul karena keadaan psikologis seseorang (Grichnik & Ferrante, 1991).
Berdasarkan data-data penelitian tersebut, sebagai Perawat tentunya kita harus peka dan tanggap terhadap pasien yang mengeluhkan nyeri saat datang ke IGD. Kemampuan yang dimiliki perawat mengharuskan perawat dapat menentukan tindakan yang tepat terhadap pasien. Tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan pengkajian gawat darurat, melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi nyeri dan melakukan kolaborasi pemberian terapi. Maka dari itu, penyusunan makalah ini penting untuk membahas lebih detil asuhan keperawatan pada pasien dengan keluhan nyeri yang datang di IGD.
Selain itu, dengan adanya organisasi dunia yang khusus melakukan studi tentang nyeri yaitu The International Association for the Study of Pain (IASP) menambah pentingnya kita untuk memahami tentang keluhan nyeri yang terjadi pada pasien yang masuk IGD.
1.2. Tujuan
1.2.1. Untuk mengetahui konsep “Pain Management” di Instalasi Gawat Darurat.
1.2.2. Untuk mengetahui cara “Pain Management” di Instalasi Gawat Darurat berdasarkan evidence based practice.
1.2.3. Untuk memahami cara penyusunan asuhan keperawatan pada pasien dengan nyeri akut di Instalasi Gawat Darurat.


BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1. Definisi Nyeri
International Association for the Study of Pain menjelaskan bahwa nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang disertai dengan terjadinya kerusakan jaringan secara aktual ataupun potensial (Bogduk, 2017). Hal ini sejalan dengan pendapat berikut yang mengatakan bahwa nyeri adalah suatu keadaan dimana seseorang megalami dan melaorkan ketidaknyamanan yang terjadi baik secara lisan ataupun melalui pesan kepada orang terdekatnya (Kumar & Elavarasi, 2016).
Nyeri akut yaitu nyeri yang dipicu oleh penyakit atau cedera tertentu, menggambarkan kondisi biologis dan aktifnya sistem saraf simpatis (Grichnik & Ferrante, 1991).
Menurut pendapat lain bahwa nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan yang disampaikan ke otak oleh saraf sensorik yang menandakan sedang terjadinya cidera aktual atau potensial pada tubuh. Rasa sakit yang muncul merupakan persepsi setiap individu yang bersifat subjektif untuk memberikan informasi tentang area nyeri, intensitas dan sifat dari nyeri yang muncul (Medical-Dictionary, 2018).
Nyeri juga dapat didefinisikan bahwa terjadinya kerusakan jaringan yang aktual atupun potensial. Pada pasien yang datang ke IGD, nyeri berguna sebagai sebuah alarm bahwa tubuh sedang mengalami kerusakan jaringan ataupun terjadinya proses inflamasi. Untuk memberikan terapi dini pada nyeri, terdapat 4 hal penting yang harus diperhatikan diantaranya adalah intensitas nyeri, pasien, patologi dan kekhasan lokal (Galinski & Adnet, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka yang nyeri merupakan suatu keluhan subjektif akibat terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia baik secara aktual ataupun yang potensial akan mengalami kerusakan sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman tersendiri untuk setiap individu yang mengalami nyeri.


2.2. Anatomi Organ Terkait
Gambar 2.1 Struktur otak dan tulang belakang manusia.
2.2.1.  Anatomi Otak
Otak merupakan salah satu organ penting mengapa manusia harus hidup di dunia ini. Organ yang terletak paling atas dari tubuh manusia ini memiliki peran yang besar dalam mengatur kehidupan pemiliknya. Otak memiliki tanggung jawab terhadap semua aktifitas tubuh seperti sebagai pusat berfikir, mengingat, mengatur emosi, kecerdasan, kemampuan untuk menerima rangsangan dan melakukan aktifitas motorik. Otak sebagai sekumpulan organ memiliki bagian-bagian dengan fungsinya masing-masing.
Gambar 2.2 Anatomi otak manusia.
Berikut akan dijelaskan mengenai bagian-bagian dari otak sebagai berikut:
a.    Otak Besar (Serebrum)
Sesuai dengan namanya, otak bagian ini merupakan otak dengan bagian dan fungsi paling besar diantara bagian yang lainnya. Otak besar berfungsi mengatur segala aktivitas mental, berkaitan dengan kecerdasan, ingatan, kesadaran dan berbagai macam pertimbangan. Otak besar memiliki bagian yang disebut lobus. Lobus oksipital berfungsi sebagai pusat penglihatan, lobus temporalis sebagai pusat pendengaran, lobus frontalis sebagai pusat kepribadian dan komunikasi (Untari, 2012).
b.   Otak Kecil (Serebelum)
Sesuai dengan namanya, bagian otak ini tidak sebesar otak besar. Otak kecil memiliki fungsi utama dalam koordinasi otot, keseimbangan dan posisi tubuh. Otak kecil akan menunda pengaturan gerak apabila ada stimulus yang merugikan. Selain itu, yang membuat manusia mampu bergerak dengan aerodinamis (halus dan luwes) adalah peran dari otak kecil ini (Untari, 2012).
c.    Otak Tengah (Mensefalon)
Otak tengah merupakan salah satu bagiann dari otak yang terletak di depan otak kecil dan jembatan varol (pons varoli). Otak ini juga memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai pusat pengaturan reflek mata, tonus otot dan fungsi berdirinya tubuh (Untari, 2012).
d.   Otak Depan (Diensefalon)
Otak depan memiliki 2 bagian yaitu thalamus dan hipothalamus. Thalamus memiliki fungsi menerima semua rangsang dari reseptor kecuali bau. Sedangkan hipothalamus memiliki fungsi sebagai pengaturan suhu, pengaturan nutrien, menjaga agar manusia tetap terjaga dan penumbuhan sikap agresif (Untari, 2012).



e.    Jembatan Varol (Pons Varol)
Jembatan varol merupakan serabut saraf yang menghubungkan antara otak kecil bagian kiri dan bagian kanan serta penghubung antara otak besar dengan sumsum tulang belakang (Untari, 2012).
2.2.2.  Anatomi Tulang Belakang
Tulang belakang atau istilah dalam biologi disebut vertebrata merupakan tulang yang memiliki banyak fungsi bagi kehidupan manusia. Vertebra membujur dari bagian batang otak hingga tulang ekor. Seseorang yang berusia dewasa panjang vertebra diperkirakan mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Vertebra dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya. Tulang belakang ini merupakan bagian yang penting dalam membentuk ergonomi tubuh manusia karena merupakan tulang yang menyokkong tubuh manusia.
Gambar 2.3 Anatomi tulang belakang manusia.

a.      Vertebra Servikalis
Tulang ini berada pada bagian tulang leher yang terdiri dari tujuh buah tulang. Tuju buah tulang ini memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina dan procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek kecuali tulang ke-2 dan ke-7. Pada tulang ini salah satunya memiliki fungsi yang mengatur pusat pernapasan manusia.
b.      Vertebra Thorakalis
Vertebra ini terdiri dari dari 12 tulang yang juga dikenal sebagai tulang dorsal. Procesus spinosus pada tulang ini terhubung dengan tulang rusuk. Kemungkinan beberapa gerakan memutar daat terjadi pada tulang ini.
c.       Vertebra Lumbalis
Vertebra ini terdiri dari 5 tulang yang merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan menanggung beban terberat dari tulang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
d.      Vertebra Sacrum
Vertebra ini terdiri dari 5 tulang dimana tulang-tulangnya tidak memiliki celah dan bergabung satu dan lainnya. Tulang ini menghubungkan antara bagian punggung dan panggul.
e.       Vertebra Kogsigeus
Vertebra ini terdiri dari 4 tulang yang tergabung tanpa celah. Tulang kogsigeus dan sacrum tergabung menjadi satu kesatuan dan membentuk tulang yang kuat.

2.3.Fisiologi Nyeri
Nyeri muncul dalam individu melalui beberapa proses diantaranya nosiseptor (Reseptor nyeri), sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Mekanisme munculnya nyeri dapat dijelaskan melalui 4 proses yaitu transduksi, transmisi, nodulasi dan persepsi.
Gambar 2.4A Mekanisme terjadinya nyeri.
Gambar 2.4 B Mekanisme terjadinya nyeri
2.3.1.  Nosiseptor (Reseptor Nyeri)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke sistem saraf pusat untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 meni.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

2.3.2.  Sensitasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
2.3.3.  Sensitasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.
Gambar 2.5 Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitifasi sentral.

2.3.4.  Proses Munculnya Nyeri
a.      Proses Transduksi
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Suatu stimuli kuat seperti tekanan fisik kimia suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer atau organ-organ tubuh. Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer (Bahrudin, 2017)
b.      Proses Transmisi
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalin medula spinalis, kemudian sepanjang traktur sensorik menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal (Bahrudin, 2017).
c.       Proses Modulasi
Modulasi adalah proses ampifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis dan mungkin juga terjadi dilevel lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa dan delta  dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis , hipotalamus dan area otak lainnya ke otak tengah dan medula oblongata yang selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibasi desendens ini adalah penguatan atau bahkan penghambat sinyal nosiseptif di kornu dorsalis (Bahrudin, 2017).
d.      Proses Persepsi
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari saraf aferen (Bahrudin, 2017).
Gambar 2.6 Konsep mekanisme terjadinya nyeri.
2.3.5.      Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat
a.      Jalur Asenden
Serabut saraf C dan A delta halus yang masing-masing sebagai penyalur nyeri akut dan kronik bersinap di substansia gelatinosa kornu dorsalis. Mereka melewati medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus. Traktus neospinotalamikus yang pertama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di nukleus ventopostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis tempat nyeri dipersepsikan. Cabang paleospinotalamikus adalah jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri (Bahrudin, 2017).
b.      Jalur Desenden
Salah satu jalur desenden yang telah diidentifikasi mencakup 3 kompnen. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG) dan substansia grisea periventrikel menssefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi aquaductus sylvius. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu kompleks inhibitor nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis (Bahrudin, 2017)
Gambar 2.7 Jalur nyeri di sistem saraf pusat
2.3.6.      Serabut Nyeri
Ada dua serabut saraf nyeri yang utama yaitu sebagai berikut:
a.      Serabut Delta A
Serabut delta A merupakan serabut kecil bermielin yang cepat, meneruskan nyeri dengan kecepatan 2,5-20 meter per detik. Serabut ini menghantarkan nyeri yang menusuk tajam, yang terlokalisir dengan tepat. Serabut ini tidak terpengaruh oleh opiat yang berarti bahwa nyeri dan nyeri tekan yang dihantarkan oleh serabut ini tidak akan berkurang oleh anagesia opiat, seperti yang biasanya diperkirakan. Akibatnya pasien yang mengalami trauma terus merasakan nyeri saat bergerak setelah pemberian opiat (Kneale & Peter, 2008).
b.      Serabut C
Serabut C adalah serabut tak bermielin yang lambat, menghantarkan nyeri dengan kecepatan kurang dari 2,5 meter perdetik, sehingga pasien menjelaskan nyeri sebagai sensasi yang tumpul, terbakar, menusuk, berdenyut, persisten, dan tidak terlokalisasi. Nyeri ini berespon baik terhadap opiat.
Dua jenis serabut saraf tersebut bekerja bersama, meberi sensasi yang berbeda. Misalnya nyeri segera pascabedah dihantarkan oleh serabut delta A tetapi menyebarnya nyeri tersebut karena pengaruh transmisi serabut C (Kneale & Peter, 2008).

2.4. Patofisiologi
Rangsang nyeri diterima oleh nociceptors dapat berupa intensitas tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrein, prostaglandin E2 dan histamin yang akan merangsang nociceptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).
Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nociceptor. Jika terjadi okulasi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+ ekstraseluler dan H+ yang selanjutnya mengaktifkan nociceptor. Histamin, bradikinin dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi perangsangan nociceptor. Bila nociceptor terangsang maka mereka akan melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokontriksi yang dipengaruhi oleh serotonin diikuti oleh vasodilatasi mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain. Perangsangan nociceptor inilah yang menyebabkan nyeri (Silberlnagl & Lang, 2000).
Kerusakan jaringan akibat cidera memicu pelepasan histamin, prostaglandin dan bradikinin. Substansi tersebut bergabung dengan area reseptor nociceptor untuk memicu transmisi neural. Prostaglandin dihasilkan dari pemecahan fosfolipid yang membentuk dinding sel. Prostaglandin merupakan mediator nyeri yang paling penting dan disintesis dari asam arakidonik oleh enzim siklooksigenase. Prostaglandin membuat nociceptor peka dan meningkatkan pengaruh dari substansi pemicu nyeri yang lain, termasuk mempertahankan kadar bradikinin tetap tinggi.
Sebagai bagian dari respon inflamasi terhadap trauma, bradikinin dihasilkan dari kininogen dalam pembuluh darah kecil dan jaringan di sekitarnya. Bradikinin merangsang area pengikat reseptor nociceptor, memicu rangkaian kejadian dalam merespon nyeri.
Histamin juga dihasilkan sebagai respon imun terhadap kerusakan jaringan. Histamin merupakan agens inflamasi yang efektif, yang menyebabkan pembengkakan dengan menimbulkan edema dan mempertahankan produk sisa secara lokal. Pada kadar yang rendah, histamin menyebabkan sensasi gatal, tetapi pada kadar tinggi, histamin menimbulkan nyeri hebat.
Adanya substansi P, suatu neurotransmiter nyeri, memicu pelepasan bradikinin, serotonin, dan histamin. Kerusakan jaringan juga menghasilkan substansi lain yang merangsang jalur nyeri, misalnya kalium.
Setiap individu menghasilkan jumlah substansi pemicu nyeri dan neurotransmiter inhibitor yang berbeda.

2.5. Pathway
Gambar 2.8 Pathway

2.6. Pengkajian Nyeri Di Instalansi Gawat Darurat
Pengkajian terhadap nyeri pasien disesuaikan dengan kondisi pasien meliputi usia dan kognitif. Karena sifatnya yang subjektif, maka untuk menentukan penilaian terhadap intensitas nyeri yang muncul dibutuhkan data-data dari parameter klinis yang lainnya seperti visual pasien dalam menahan nyeri, peningkatan hasil laboratorium dan adanya penyebab yang aktual. Penilaian tingkat nyeri berbeda antara anak-anak dan dewasa. Perbedaan tersebut berada pada instrumen yang digunakan.
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi. Sebisa mungkin intensitas, skala dan informasi dari pasien harus segera dikaji agar penanganannya tepat. Untuk memudahkan, banyak instrumen valid yang telah dibuat dengan berupa skala perhitungan.
a.      Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala ini berbentuk ilustrasi raut wajah manusia dengan 6 jenis ilustrasi. Ilustrasi wajah tersebut dimulai dari senyuman hingga menangis kesakitan dan diikuti oleh keterangan angka dibawahnya. Skala ini bisa digunakan pada pasien yang mengalami gangguan dalam berkomunikasi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan beda budaya.
Gambar 2.9 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

b.      Verbal Rating Scale
Skala pengukuran ini terdiri dalam lima poin yang dapat menggambarkan nyeri dari tidak nyeri, nyeri ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar 2.10 Verbal Rating Scale
c.       Numeric Rating Scale (NRS)
Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Downie et.al tahun 1978. Penggunaan instrumen ini dengan menanyakan kepada pasien nyeri yang dirasakan dari angka 0 sampai 10 dimana 0 menyatakan tidak ad nyeri dan 10 nyeri yang hebat.
Gambar 2.11 Numeric Rating Scale
d.      Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic).
Gambar 2.12 Visual Analogue Scale (VAS)



2.7.Pengkajian Nyeri di Intensive Care Unit
Intensive Care Unit memiliki kondisi yang berbeda dari instalasi gawat darurat. Instrumen yang telah banyak digunakan dan dilakukan penelitian adalah instrumen CPOT (Critical Care Pain Observation Tool). CPOT merupakan instrumen yang dikembangkan tahun 2006 terdiri dari 4 item penelitian yaitu ekspresi wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi dan tidak terintubasi.
Critical Care Pain Observation Tool merupakan salah satu instrumen valid yang dapat digunakan untuk mengukur nyeri pasien di ICU. Instrumen ini banyak digunakan karena sudah teruji kevalidan dan reliabelitasnya, mudah untuk penggunaanya dan mudah untuk dipahami isinya. Sehingga penilaian terhadap nyeri pasien di ICU menjadi lebih valid lagi. Berikut deskripsi singkat dari setiap perilaku yang diamati menggunakan CPOT (Gélinas, 2006):
a.       Ekspresi Wajah
Ekspresi wajah adalah salah satu indikator perilaku terbaik untuk penilaian nyeri. Sebuah skor 0 diberikan ketika tidak ada ketegangan otot diamati di wajah pasien. Sebuah skor 1 terdiri dari wajah tegang yang biasanya dipamerkan sebagai cemberut atau alis menurunkan. Sebuah skor 2 mengacu pada meringis, yang merupakan kontraksi dari wajah penuh termasuk mata tertutup rapat dan kontraksi dari otot-otot pipi. Pada kesempatan, pasien dapat membuka atau mulutnya, atau jika diintubasi, mungkin menggigit tabung endotrakeal. Setiap perubahan lain dalam ekspresi wajah harus dijelaskan dalam grafik, dan diberi skor 1 jika berbeda dari yang santai (0) atau meringis (2) wajah.
b.      Gerakan Tubuh
Skor 0 diberikan ketika pasien tidak bergerak sama sekali atau tetap dalam posisi normal sesuai penilaian klinis perawat. Sebuah skor 1 mengacu pada gerakan pelindung, yang berarti bahwa pasien melakukan gerakan lambat dan hati-hati, mencoba untuk mencapai atau menyentuh situs nyeri. Sebuah skor 2 diberikan bila pasien gelisah atau gelisah. Dalam hal ini, pasien menunjukkan gerakan berulang, mencoba untuk menarik tabung, mencoba untuk duduk di tempat tidur, atau tidak kolaboratif. Dari catatan, gerakan tubuh adalah perilaku kurang spesifik dalam kaitannya dengan rasa sakit, tetapi masih penting dalam seluruh evaluasi nyeri pasien.
c.       Kepatuhan dengan ventilator
Kepatuhan dengan ventilator yang digunakan ketika pasien ventilasi mekanik. Skor 0 mengacu pada ventilasi mudah. pasien tidak batuk atau mengaktifkan alarm. Sebuah skor 1 berarti bahwa pasien dapat batuk atau mengaktifkan alarm tapi ini berhenti spontan tanpa perawat harus campur tangan. Sebuah skor 2 diberikan ketika pasien berjuang ventilator. Dalam hal ini, pasien dapat batuk dan mengaktifkan alarm, dan asynchrony dapat diamati. Perawat harus melakukan intervensi dengan berbicara kepada pasien untuk meyakinkan atau dengan pemberian obat untuk menenangkan pasien turun.
d.      Vokalisasi
Vokalisasi digunakan pada pasien non-diintubasi mampu menyuarakan. Skor 0 mengacu pada tidak adanya suara atau untuk pasien berbicara dengan nada normal. Skor 1 diberikan ketika pasien mendesah atau mengerang, dan skor 2 ketika pasien menangis keluar (aie! Aduh!) Atau menangis.


e.       Ketegangan Otot
ketegangan otot juga merupakan indikator yang sangat baik dari rasa sakit, dan dianggap yang terbaik kedua di CPOT. Ketika pasien sedang beristirahat, itu dievaluasi dengan melakukan fleksi pasif dan perpanjangan lengan pasien. Selama berputar, perawat dapat dengan mudah merasakan resistensi pasien ketika ia berpartisipasi dalam prosedur. Sebuah skor 0 diberikan bila tidak ada hambatan yang dirasakan selama gerakan pasif atau prosedur balik. Sebuah skor 1 mengacu pada perlawanan selama gerakan atau balik. Dengan kata lain, pasien tegang atau kaku. Sebuah skor 2 terdiri dari resistensi yang kuat. Dalam kasus tersebut, perawat mungkin tidak dapat menyelesaikan gerakan pasif atau pasien akan menolak terhadap gerakan selama berputar. Pasien juga dapat mengepalkan / nya tinjunya.

2.8.Dampak pada Tubuh akibat Nyeri
Ketika terjadi nyeri tubuh akan mengalami respon sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Apabila tubuh mengalami nyeri, maka akan menimbulkan banyak efek pada tubuh yang akan memperlama proses penyembuhan. Respon pada saraf otonom terhadap nyeri akan menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan kontraktilitas jantung yang akan diikuti dengan peningkatan nadi, tekanan darah dan cardiact output. Respon tersebut akan menyebabkan beban kerja jantung meningkat sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen. Selain itu hal tersebut akan meperberat kondisi iskemik pada pasien dengan sakit kritis (Morton & Fontaine, 2005).
Perubahan pernapasan akibat nyeri akan mempengarhi proses difusi pada alveoli sehingga jaringan akan mengalami gangguan. Termasuk mengalami gangguan pada paru-paru diantaranya atelektasis dan penumonia. Selain itu, berbagai sistem lainnya akan mengalami gangguan diantaranya gastrointestinal yang akan mempengaruhi proses pencernaan, muskuloskeletal yang akan mempengaruhi kekuatan otot, dan dapat menyebabkan penekanan pada sistem imun manusia (Morton & Fontaine, 2005).


2.9.Persepsi Perawat Terhadap Nyeri
Persepsi perawat terhadap nyeri sering berbeda dengan persepsi yang dimiliki pasien. Perawat biasanya meremehkan nyeri yang dirasakan pasien dan melebih-lebihkan keefektifan intervensi yang mereka berikan. Satu pertanyaan yang sederhana tidak akan memberi pengkajian yang akurat terhadap nyeriyang dirasakan pasien, harus melihat juga klinis yang ditunjukkan pasien.
Penelitian Seers (1987) yang dimuat dalam Keneale & Peter (2011) mengatakan bahwa perawat berpendapat nyeri yang dirasakan pasien tidak seberapa dibandingkan dengan persepsi pasien terhadap nyeri yang dirasakannya, yang ditandai dengan 54% perawat memberikan skor nyeri lebih rendah daripada yang dirasakan pasien.
Penelitian lanjutan Hollingswort (1994) yang dimuat dalam Keneale & Peter (2011) mengatakan bahwa perawat di Inggris biasanya merasakan kesulitan dalam menghadapi pasien yang ekspresif dalam mengeluhkan nyeri yang dialami.
Dengan demikian, pengkajian awal yang akurat dan dilakukan secara reguler penting dilakukan untuk menghasilkan data valid yang bisa menggambarkan kondisi pasien sesungguhnya.

2.10.         Penatalaksanaan
Instalasi Gawat Darurat menjadi salah satu gerbang masuknya pasien ke rumah sakit. Salah satu yang menyebabkan pasien datang ke IGD karena mengalami permasalahan nyeri. Semua pasien dengan rasa sakit yang datang ke IGD harus segera diutamakan, didiagnosis dan dilakukan penanganan segera untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas berdasarkan instrumen pengukuran nyeri.
2.10.1.  Triase Primer
Triasi primer harus dilakukan kepada semua pasien yang datang ke IGD. Tujuannya adalah untuk megenali, mendiagnosa dan mengelola rasa sakit pasien. Penilaian dilakukan saat pertama pasien datang ke rumah sakit. Pada level ini, manajemen nyeri bisa dilakukan dengan metode non-farmakologis. Metode lainnya adalah dengan cara memfasilitasi mobilisasi pasien menggunakan tongkat, bed, kursi roda dan metode lainnya yang dapat dilakukan dengan segera (Ministri of Health Circular, 2008).
2.10.2.  Triase Secondary
Triase ini adalah fase kedua dari triase dimana penilaian dinilai secara subjektif dan objektif. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi, menilai dan mengelola pasien dengan baik. Semua tanda-tanda vital dan skor nyeri harus diukur dengan objektif. Manajemen nyeri dilakukan sesuai dengan skor nyeri dan penggunaan alur farmakologis dan atau non-farmakologis (Ministri of Health Circular, 2008).
2.10.3.  Alur Manajemen Nyeri di IGD
Gambar 2.13 A Alur penanganan pasien nyeri di IGD


Gambar 2.13 B Alur penanganan pasien nyeri di IGD

Gambar 2.13 C Alur penanganan pasien nyeri di IGD


Gambar 2.14 Panduan terapi farmakologi

Gambar 2.15 Wewenang pemberian terapi farmakologi



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Kasus
Seorang laki-laki 45 tahun dibawa ke IGD RSHS karena mengalami keluhan utama nyeri pada dada sebelah kanan. Saat dilakukan anamnesis didapatkan data bahwa kurang lebih 2 jam SMRS mengalami kecelakaan sepeda motor. Mekanisme traumanya yaitu saat klien mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah samping kanan ada mobil dengan kecepatan tinggi menyenggol motor klien yang menyebabkan klien terjatuh dengan dada membentur aspal. Anamnesis lanjutan didapatkan data bahwa klien sempat pingsan, tidak ada muntah proyektil ataupun darah, tidak ada perdarahan melalui hidung dan telinga.
Setibanya di IGD dilakukan initial assestmen dan didapatkan data: RR 32 x/m, Nadi 102 x/m, TD 110/70 mmHg, Saturasi oksigen 92,4%, GCS E4 M6 V5, Pupil isokor dengan diameter 3 mm simetris, reflek cahaya positif, tidak ada kelemahan ekstremitas. Bentuk dan gerakan dada asimetris, hemithoraks kanan tertinggal, VBS kanan menurun, . Terdapat luka lecet di area zygoma, terdapat jejas di dada lateral sebelah kanan, dan pemeriksaan foto thorak didapatkan positif hemothorax kanan lateral.
(Kasus diadopsi dari: Dr. Tri Wahyu Murni, 2018)
3.2. Initial Assestment
Airway
:
Tidak ditemukan masalah pada jalan napas (Airway Clearen).
Breathing
:
RR 31 x/m, ada jejas di dada lateral kanan, bentuk dan gerakan dada asimetris (gerakan dada kanan tertinggal), dan VBS kanan menurun.
Circulation
:
Nadi 102 x/m, TD 110/70 mmHg, CRT <2 detik.
Disability
:
GCS E4 M6 V5, Pupil isokor dengan diameter 3 mm simetris, reflek cahaya positif, tidak ada kelemahan ekstremitas.
Eksposure
:
Tidak terdapat perdarahan dari telinga, hidung, mulut.

3.3. Diagnosa Medis
Frakctur multiple d.d Pneumothorax d.d Hematothorax.
3.4. Pemeriksaan Penunjang
a.      Hematologi
Px
Hasil
Unit
Rujukan
Darah Rutin
Haemoglobin
11,6
g/dl
13-18
Hematokrit
38
%
40-52
Leukosit
18.100
/µl
4.800-10.800
Thrombosit
269.000
/µl
150.000-400.000
Analisa Gas Darah
PH
7,364
-
7,37-7,45
PCO2
38,3
mmHg
32-46
PO2
64,1
mmHg
71-104
HCO3
21,5
mEq/l
21-29
TCO2
22,7
-
-
BE
-3,2
mEq/l
-2 - +2
Tabel 3.1 Pemeriksaan laboratorium hematologi
b.      Foto Thorak
Gambar 3.1 Foto thorak
Intepretasi:
a.      Tampak close fraktur 1/3 klavikula dextra, tampak close fraktur pada costae ke 2,3,4 dextra posterior.
b.      Tampak opasifikasi hemithorax dextra dan sinistra distal.
c.       Tampak pneumothorax pada paru sinistra.
3.5. Terapi Medis
Nama Obat
Dosis
Rute
Morphine
5 mg/4 jam
IV
Oksigen Canula
5 l/m
Nasal
IVFD RL
20 tpm
IV
Tabel 3.2 Terapi medis

3.6. Analisa Data (Bisa dihapus)
Data
Etiologi
Problem
DS:
1.      Klien mengeluhkan merasa nyeri pada dada kanan lateralnya.
2.      Mekanisme kecelakaan ditabrak mobil dari arah samping kemudian terjatuh dan dada membentur aspal.
DO:
1.      Klien terlihat menahan nyeri.
2.      Saat dilakukan pengkajian nyeri didapatkan hasil:
P : Klien mengatakan nyeri terasa jika terjadi perubahan posisi.
Q : Klien mengatakan nyerinya seperti tertusuk benda tajam.
R : Klien mengatakan nyeri terasa paling berat pada bagian dada sebelah kanan lateral.
S : Saat dilakukan pengukuran skala nyeri menggunakan Numeric Rating Scale nyerinya berada pada skala 8.
T : Klien mengatakan nyerinya intermiten.
Agens Cedera Fisik

Nyeri Akut
DS:
1.      Pasien mengatakan merasa sesak.
DO:
1.      RR 32 x/m
2.      Terdapat jejas di kanan lateral thorak
3.      Bentuk dan gerakan dada asimetris
4.      Hemithorak kanan tertinggal
5.      VBS kanan menurun
Deformitas Dinding Dada
Ketidakefektifan Pola Napas
DS:
1.      Klien mengatakan merasakan sesak
2.      Klien mengatakan kalau bernapas terasa nyeri
DO:
1.      RR 32 x/m
2.      AGD mulai terjadi perubahan
Perubahan Membran Alveolar-Kapiler
Gangguan Pertukaran Gas
Tabel 3.3 Analisa Data

Prioritas Diagnosa:
a.       Nyeri Akut b.d Agens Cidera Fisik
b.      Ketidakefektifan Pola Napas b.d Deformitas Dinding Dada
c.       Gangguan Pertukaran Gas b.d Perubahan Membran Alveolar Kapiler



3.7. Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi
1.
Nyeri akut b.d Agens Cidera Fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam maka skala tingkat nyeri membaik dengan kriteria hasil:
1.      Laporan intensitas nyeri berkurang
2.      Durasi dari nyeri memendek
3.      Ekspresi wajah tidak menahan nyeri
4.      Vital sign tetap dalam rentang normal
5.      Suhu dalam rentang normal 36,5-37,5 0C
1.    Observasi tanda-tanda nonverbal dari ketidaknyamanan pada klien
2.    Observasi vital sign klien setiap 1 jam
3.    Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
4.    Berikan informasi kepada klien dan keluarga tentang nyeri
5.    Ajarkan klien tentang teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri (teknik relaksasi napas dalam dan distraksi)
6.    Berikan klien posisi yang nyaman untuk mengurangi nyeri
7.    Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri
2.
Ketidakefektifan Pola Napas b.d Deformitas Dinding Dada
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:
1.      Tidak ada sianosis dan dyspneu.
2.      Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal).
3.      Vital sign dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan).
1.       Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.       Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
3.       Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
4.       Monitor respirasi dan status O2
5.       Pertahankan jalan nafas yang paten
6.       Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
7.       Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
8.       Monitor vital sign
9.       Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
10.   Berikan okeigen nasal canul
11.   Monitor pola nafas
12.   Kolaborasi pemasangan Chest Tube Thorakotomy

3.
Gangguan Pertukaran Gas b.d Perubahan Membran Alveolar-Kapiler
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam gangguan pertukaran gas pasien teratasi dengan kriteria hasi:
1.      Peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
2.      Bebas dari tanda tanda distress pernafasan.
3.      Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
4.      Tanda tanda vital dalam rentang normal.
5.      AGD dalam batas normal.
6.      Status neurologis dalam batas normal.
1.      Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.      Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
3.      Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
4.      Monitor respirasi dan status O2
5.      Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
6.      Monitor suara nafas, seperti dengkur
7.      Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
8.      Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
9.      Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus mental
10.  Observasi sianosis khususnya membran mukosa
11.  Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan tindakan dan tujuan penggunaan alat tambahan (O2, Suction, Inhalasi)
12.  Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut jantung
13.  Kolaborasi pelaksanaan thorakothomi

BAB IV
PENUTUP
Nyeri merupakan suatu keluhan subjektif akibat terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia baik secara aktual ataupun yang potensial akan mengalami kerusakan sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman tersendiri untuk setiap individu yang mengalami nyeri. Salah satu alasan paling umum pasien datang ke Rumah Sakit khususnya IGD (Instalasi Gawat Darurat) adalah karena keluhan nyeri yang dialami. Keluhan nyeri pada pasien biasanya diikuti dengan kondisi penyerta seperti trauma. Penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 75% pasien yang datang ke IGD dikarenakan mengalami keluhan utama yang berkaitan dengan nyeri.
Karena nyeri bersifat subjektif, maka satu pasien dengan pasien yang lain memiliki tingkat nyeri yang berbeda meskipun dengan kondisi penyebab yang sama. Hal tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa tingkat nyeri sangat subjektif dirasakan oleh masing-masing pasien. Untuk menentukan tingkat nyeri seseorang, rumah sakit memiliki standar khusus diantaranya dengan melakukan pengkajian menggunakan instrumen skala nyeri. Instrumen yang biasanya digunakan yaitu VAS (Visual Analog Scale), NRS (Numeric Rating Scale) dan Face Rating Scale. Instrumen tersebut biasanya digunakan sesuai dengan kondisi pasien, misalnya pasien anak, dewasa dan pasien tidak sadar. Nyeri berguna sebagai sebuah alarm bahwa tubuh sedang mengalami kerusakan jaringan ataupun terjadinya proses inflamasi. Untuk memberikan terapi dini pada nyeri, terdapat 4 hal penting yang harus diperhatikan diantaranya adalah intensitas nyeri, pasien, patologi dan kekhasan lokal.
Perawat  merupakan salah satu tenaga kesehatan yang harus mengerti banyak mengenai pain manajemen. Karena berdasarkan penelitian masih diperlukan penyamaan persepsi antar perawat dan pasien agar apa yang dirasakan pasien dapat tergambar dengan jelas dan dapat diberikan tindakan yang tepat.
Mudah-mudahan  penyusunan penugasan ini bisa bermanfaat untuk sumber dalam melakukan tindakan ke pasien dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk proses perkuliahan.

DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin, M. (2017). Patofisiologi nyeri. Simposium Nyeri, 13(1), 11–29.
Bogduk, H. M. and N. (2017). Pain Term. Retrieved from http://www.iasp-pain.org/Education/Content.aspx?ItemNumber=1698#Pain
Downey, L. V., & Zun, L. (2010). Pain management in the emergency department and its relationship to patient satisfaction. Journal of Emergencies, Trauma, and Shock, 3(4), 326. https://doi.org/10.4103/0974-2700.70749
Galinski, M., & Adnet, F. (2007). Acute pain management in emergency medicine. Reanimation, 16, 652–659. https://doi.org/10.1016/j.acpain.2008.01.038
Gélinas, C. (2006). The Critical Care Pain Observation Tool ( CPOT ). Pain, 15(4).
Grichnik, K. P., & Ferrante, F. M. (1991). The difference between acute and chronic pain. The Mount Sinai Journal of Medicine, New York, 58(3), 217–220.
Guru, V., & Dubinsky, I. (2000). The patient vs. caregiver perception of acute pain in the emergency department. Journal of Emergency Medicine, 18(1), 7–12. https://doi.org/10.1016/S0736-4679(99)00153-5
Hjermstad, M. J., Fayers, P. M., Haugen, D. F., Caraceni, A., Hanks, G. W., Loge, J. H., … Kaasa, S. (2011). Studies comparing numerical rating scales, verbal rating scales, and visual analogue scales for assessment of pain intensity in adults: A systematic literature review. Journal of Pain and Symptom Management, 41(6), 1073–1093. https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2010.08.016
Kumar, K. H., & Elavarasi, P. (2016). Definition of pain and classification of pain disorders. Journal of Advanced Clinical & Research Insights, 3(June), 87–90. https://doi.org/10.15713/ins.jcri.112
Ministri of Health Circular. (2008). PAIN MANAGEMENT IN EMERGENCY AND TRAUMA As part of. Kementrian Kesihatan Malaysia.
Untari, I. (2012). Kesehatan Otak Modal Dasar Hasilkan SDM Handal. Jurnal Profesi, 08(September), 1–7.
Silbernagl/Lang. 2000, Pain in Color Atlas of Pathophysiology , Thieme New York. 320-321
Soetikno, R.D. 2011. Radiologi Emergensi. Bandung: PT. Refika Aditama
Muliawan, E. 2013. Prosdur Penting dalam Kedaruratan. Jakarta: EGC
Kneale, J., Peter, D. 2008. Orthopedic and Trauma Nursing 2E. United Kingdom: Elsevier
Morton, P. G., & Fontaine, D. (2005). Critical care nursing: A holistic approach. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins.

No comments:

Post a Comment

 
loading...