PENGELOLAAN
PASIEN DENGAN NYERI
“PAIN
MANAGEMENT”
Disusun
Oleh:
Donny Nurhamsyah
|
NPM.
220120170010
|
PROGRAM
STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Salah
satu alasan paling umum pasien datang ke Rumah Sakit khususnya IGD (Instalasi
Gawat Darurat) adalah karena keluhan nyeri yang dialami. Keluhan nyeri pada
pasien biasanya diikuti dengan kondisi penyerta seperti trauma. Penelitian
mengungkapkan bahwa sekitar 75% pasien yang datang ke IGD dikarenakan mengalami
keluhan utama yang berkaitan dengan nyeri (Downey & Zun, 2010).
Satu
pasien dengan pasien yang lain memiliki tingkat nyeri yang berbeda meskipun
dengan kondisi penyebab yang sama. Hal tersebut semakin menguatkan pendapat
bahwa tingkat nyeri sangat subjektif dirasakan oleh masing-masing pasien. Untuk
menentukan tingkat nyeri seseorang, rumah sakit memiliki standar khusus
diantaranya dengan melakukan pengkajian menggunakan instrumen skala nyeri. Instrumen
yang biasanya digunakan yaitu VAS (Visual
Analog Scale), NRS (Numeric Rating
Scale) dan Face Rating Scale. Instrumen
tersebut biasanya digunakan sesuai dengan kondisi pasien, misalnya pasien anak,
dewasa dan pasien tidak sadar (Guru & Dubinsky, 2000).
Indikator
yang sering diterapkan di IGD adalah menggunakan NRS dimana memiliki skor 1
sampai 10. Kriteria pembagian 1-3 tingkat nyeri ringan, 4-6 tingkat nyeri
sedang, 7-9 tingkat nyeri berat dan 10 tingkat nyeri tak tertahankan (Hjermstad et al., 2011). Indikator nyeri
yang didapat, berguna untuk melihat respon tubuh menghadapi suatu masalah dan
sebagai pertimbangan dalam pemberian terapi khususnya terapi farmakologi anti
nyeri untuk memberikan kenyamanan kepada pasien.
Selain
itu, nyeri juga dapat didefinisikan bahwa terjadinya kerusakan jaringan yang
aktual atupun potensial. Pada pasien yang datang ke IGD, nyeri berguna sebagai
sebuah alarm bahwa tubuh sedang mengalami kerusakan jaringan ataupun terjadinya
proses inflamasi. Untuk memberikan terapi dini pada nyeri, terdapat 4 hal
penting yang harus diperhatikan diantaranya adalah intensitas nyeri, pasien,
patologi dan kekhasan lokal (Galinski & Adnet, 2007).
Secara
garis besar, nyeri dibagi menjadi 2 yaitu nyeri akut dan nyeri kronis yang dibedakan
melalui onset nyerinya dan tanda klinisnya. Nyeri akut yaitu nyeri yang dipicu
oleh penyakit atau cedera tertentu, menggambarkan kondisi biologis dan aktifnya
sistem saraf simpatis. Sedangkan nyeri kronis merupakan nyeri yang muncul
melebihi waktu normal penyembuhan. Nyeri kronis bisasanya timbul karena keadaan
psikologis seseorang (Grichnik & Ferrante, 1991).
Berdasarkan
data-data penelitian tersebut, sebagai Perawat tentunya kita harus peka dan
tanggap terhadap pasien yang mengeluhkan nyeri saat datang ke IGD. Kemampuan
yang dimiliki perawat mengharuskan perawat dapat menentukan tindakan yang tepat
terhadap pasien. Tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan pengkajian
gawat darurat, melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi nyeri dan
melakukan kolaborasi pemberian terapi. Maka dari itu, penyusunan makalah ini
penting untuk membahas lebih detil asuhan keperawatan pada pasien dengan
keluhan nyeri yang datang di IGD.
Selain
itu, dengan adanya organisasi dunia yang khusus melakukan studi tentang nyeri
yaitu The International Association for
the Study of Pain (IASP) menambah pentingnya kita untuk memahami tentang
keluhan nyeri yang terjadi pada pasien yang masuk IGD.
1.2.
Tujuan
1.2.1. Untuk
mengetahui konsep “Pain Management” di Instalasi Gawat Darurat.
1.2.2. Untuk
mengetahui cara “Pain Management” di Instalasi Gawat Darurat berdasarkan
evidence based practice.
1.2.3. Untuk
memahami cara penyusunan asuhan keperawatan pada pasien dengan nyeri akut di
Instalasi Gawat Darurat.
BAB
II
TINJAUAN
LITERATUR
2.1.
Definisi Nyeri
International
Association for the Study of Pain menjelaskan bahwa nyeri adalah pengalaman
sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang disertai dengan terjadinya
kerusakan jaringan secara aktual ataupun potensial (Bogduk, 2017). Hal ini sejalan
dengan pendapat berikut yang mengatakan bahwa nyeri adalah suatu keadaan dimana
seseorang megalami dan melaorkan ketidaknyamanan yang terjadi baik secara lisan
ataupun melalui pesan kepada orang terdekatnya (Kumar & Elavarasi, 2016).
Nyeri
akut yaitu nyeri yang dipicu oleh penyakit atau cedera tertentu, menggambarkan
kondisi biologis dan aktifnya sistem saraf simpatis (Grichnik & Ferrante, 1991).
Menurut
pendapat lain bahwa nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan yang
disampaikan ke otak oleh saraf sensorik yang menandakan sedang terjadinya
cidera aktual atau potensial pada tubuh. Rasa sakit yang muncul merupakan
persepsi setiap individu yang bersifat subjektif untuk memberikan informasi
tentang area nyeri, intensitas dan sifat dari nyeri yang muncul (Medical-Dictionary,
2018).
Nyeri
juga dapat didefinisikan bahwa terjadinya kerusakan jaringan yang aktual atupun
potensial. Pada pasien yang datang ke IGD, nyeri berguna sebagai sebuah alarm
bahwa tubuh sedang mengalami kerusakan jaringan ataupun terjadinya proses
inflamasi. Untuk memberikan terapi dini pada nyeri, terdapat 4 hal penting yang
harus diperhatikan diantaranya adalah intensitas nyeri, pasien, patologi dan
kekhasan lokal (Galinski & Adnet, 2007).
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut, maka yang nyeri merupakan suatu keluhan subjektif
akibat terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia baik secara aktual ataupun
yang potensial akan mengalami kerusakan sehingga dapat menjadi sebuah
pengalaman tersendiri untuk setiap individu yang mengalami nyeri.
2.2.
Anatomi Organ Terkait
|
Gambar
2.1 Struktur otak dan tulang belakang manusia.
|
2.2.1. Anatomi Otak
Otak
merupakan salah satu organ penting mengapa manusia harus hidup di dunia ini. Organ
yang terletak paling atas dari tubuh manusia ini memiliki peran yang besar
dalam mengatur kehidupan pemiliknya. Otak memiliki tanggung jawab terhadap
semua aktifitas tubuh seperti sebagai pusat berfikir, mengingat, mengatur
emosi, kecerdasan, kemampuan untuk menerima rangsangan dan melakukan aktifitas
motorik. Otak sebagai sekumpulan organ memiliki bagian-bagian dengan fungsinya
masing-masing.
|
Gambar
2.2 Anatomi otak manusia.
|
Berikut
akan dijelaskan mengenai bagian-bagian dari otak sebagai berikut:
a.
Otak
Besar (Serebrum)
Sesuai
dengan namanya, otak bagian ini merupakan otak dengan bagian dan fungsi paling
besar diantara bagian yang lainnya. Otak besar berfungsi mengatur segala
aktivitas mental, berkaitan dengan kecerdasan, ingatan, kesadaran dan berbagai
macam pertimbangan. Otak besar memiliki bagian yang disebut lobus. Lobus
oksipital berfungsi sebagai pusat penglihatan, lobus temporalis sebagai pusat
pendengaran, lobus frontalis sebagai pusat kepribadian dan komunikasi (Untari, 2012).
b.
Otak
Kecil (Serebelum)
Sesuai
dengan namanya, bagian otak ini tidak sebesar otak besar. Otak kecil memiliki
fungsi utama dalam koordinasi otot, keseimbangan dan posisi tubuh. Otak kecil
akan menunda pengaturan gerak apabila ada stimulus yang merugikan. Selain itu,
yang membuat manusia mampu bergerak dengan aerodinamis (halus dan luwes) adalah
peran dari otak kecil ini (Untari, 2012).
c.
Otak
Tengah (Mensefalon)
Otak
tengah merupakan salah satu bagiann dari otak yang terletak di depan otak kecil
dan jembatan varol (pons varoli). Otak ini juga memiliki fungsi yang sangat penting
yaitu sebagai pusat pengaturan reflek mata, tonus otot dan fungsi berdirinya
tubuh (Untari, 2012).
d.
Otak
Depan (Diensefalon)
Otak
depan memiliki 2 bagian yaitu thalamus dan hipothalamus. Thalamus memiliki
fungsi menerima semua rangsang dari reseptor kecuali bau. Sedangkan
hipothalamus memiliki fungsi sebagai pengaturan suhu, pengaturan nutrien,
menjaga agar manusia tetap terjaga dan penumbuhan sikap agresif (Untari, 2012).
e.
Jembatan
Varol (Pons Varol)
Jembatan
varol merupakan serabut saraf yang menghubungkan antara otak kecil bagian kiri
dan bagian kanan serta penghubung antara otak besar dengan sumsum tulang
belakang (Untari, 2012).
2.2.2. Anatomi Tulang Belakang
Tulang
belakang atau istilah dalam biologi disebut vertebrata merupakan tulang yang
memiliki banyak fungsi bagi kehidupan manusia. Vertebra membujur dari bagian
batang otak hingga tulang ekor. Seseorang yang berusia dewasa panjang vertebra
diperkirakan mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Vertebra dikelompokkan dan
dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya. Tulang belakang ini merupakan
bagian yang penting dalam membentuk ergonomi tubuh manusia karena merupakan
tulang yang menyokkong tubuh manusia.
|
Gambar
2.3 Anatomi tulang belakang manusia.
|
a.
Vertebra
Servikalis
Tulang
ini berada pada bagian tulang leher yang terdiri dari tujuh buah tulang. Tuju
buah tulang ini memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina dan procesus spinosus (bagian
seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek kecuali tulang ke-2 dan ke-7.
Pada tulang ini salah satunya memiliki fungsi yang mengatur pusat pernapasan
manusia.
b.
Vertebra
Thorakalis
Vertebra
ini terdiri dari dari 12 tulang yang juga dikenal sebagai tulang dorsal. Procesus spinosus pada tulang ini terhubung dengan tulang rusuk.
Kemungkinan beberapa gerakan memutar daat terjadi pada tulang ini.
c.
Vertebra
Lumbalis
Vertebra
ini terdiri dari 5 tulang yang merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari tulang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan
fleksi dan ekstensi tubuh dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang
kecil.
d.
Vertebra
Sacrum
Vertebra
ini terdiri dari 5 tulang dimana tulang-tulangnya tidak memiliki celah dan
bergabung satu dan lainnya. Tulang ini menghubungkan antara bagian punggung dan
panggul.
e.
Vertebra
Kogsigeus
Vertebra
ini terdiri dari 4 tulang yang tergabung tanpa celah. Tulang kogsigeus dan
sacrum tergabung menjadi satu kesatuan dan membentuk tulang yang kuat.
2.3.Fisiologi
Nyeri
Nyeri
muncul dalam individu melalui beberapa proses diantaranya nosiseptor (Reseptor
nyeri), sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Mekanisme munculnya nyeri
dapat dijelaskan melalui 4 proses yaitu transduksi, transmisi, nodulasi dan
persepsi.
|
Gambar
2.4A Mekanisme terjadinya nyeri.
|
|
Gambar
2.4 B Mekanisme terjadinya nyeri
|
2.3.1. Nosiseptor (Reseptor Nyeri)
Nosiseptor
adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral
dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan
mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus
yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting).
Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke sistem
saraf pusat untuk interpretasi nyeri.
Saraf
nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron
dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi
pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya,
reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi
adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap
awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi,
nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut
berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi
pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 meni.
Tipe
nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C
tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin,
dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin).
Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat
–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan
menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan
produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan
ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor
viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial
merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan)
tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu
inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa
menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses
patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.
2.3.2. Sensitasi Perifer
Cidera
atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi
pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan
menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa
komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen
sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi
nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada
reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi
akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi
kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi
perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
2.3.3. Sensitasi Sentral
Sama
halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung
jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi
sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke
neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke
medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan
molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi
sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi
perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran
sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan
saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan
menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada
daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap
rangsangan nyeri.
|
Gambar
2.5 Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitifasi sentral.
|
2.3.4. Proses Munculnya Nyeri
a.
Proses
Transduksi
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf
aferen menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif. Suatu stimuli kuat seperti tekanan fisik kimia suhu dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer atau
organ-organ tubuh. Kerusakan
jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan
sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan
sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat
mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri.
Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer (Bahrudin,
2017)
b.
Proses
Transmisi
Transmisi
adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalin medula
spinalis, kemudian sepanjang traktur sensorik menuju otak. Neuron aferen primer
merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonya
berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan
banyak neuron spinal (Bahrudin, 2017).
c.
Proses
Modulasi
Modulasi
adalah proses ampifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu
dorsalis medula spinalis dan mungkin juga terjadi dilevel lainnya. Serangkaian
reseptor opioid seperti mu, kappa dan
delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem
nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis ,
hipotalamus dan area otak lainnya ke otak tengah dan medula oblongata yang
selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibasi desendens ini
adalah penguatan atau bahkan penghambat sinyal nosiseptif di kornu dorsalis (Bahrudin, 2017).
d.
Proses
Persepsi
Persepsi nyeri adalah
kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses
transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis dan karakteristik individu
lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri ada yang bermiyelin dan
ada juga yang tidak bermiyelin dari saraf aferen (Bahrudin, 2017).
|
Gambar
2.6 Konsep mekanisme terjadinya nyeri.
|
2.3.5.
Jalur
Nyeri di Sistem Syaraf Pusat
a.
Jalur
Asenden
Serabut saraf C dan A
delta halus yang masing-masing sebagai penyalur nyeri akut dan kronik bersinap
di substansia gelatinosa kornu dorsalis. Mereka melewati medula spinalis dan
naik ke otak di cabang neospinotalamikus
atau cabang paleospinotalamikus traktus.
Traktus neospinotalamikus yang
pertama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di nukleus ventopostero lateralis (VPN) talamus dan
melanjutkan diri secara langsung ke kortek somato sensorik girus pasca
sentralis tempat nyeri dipersepsikan. Cabang paleospinotalamikus adalah jalur difus yang mengirim
kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur lain.
Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri
(Bahrudin, 2017).
b.
Jalur
Desenden
Salah satu jalur desenden
yang telah diidentifikasi mencakup 3 kompnen. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG)
dan substansia grisea periventrikel menssefalon dan pons bagian atas yang
mengelilingi aquaductus sylvius. Neuron-neuron
di daerah satu mengirim impuls ke nukleus
ravemaknus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata
bagian atas dan nukleus retikularis
paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis. Impuls ditransmisikan ke
bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu kompleks inhibitor nyeri
yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis (Bahrudin, 2017)
|
Gambar
2.7 Jalur nyeri di sistem saraf pusat
|
2.3.6.
Serabut
Nyeri
Ada dua serabut saraf
nyeri yang utama yaitu sebagai berikut:
a.
Serabut
Delta A
Serabut
delta A merupakan serabut kecil bermielin yang cepat, meneruskan nyeri dengan
kecepatan 2,5-20 meter per detik. Serabut ini menghantarkan nyeri yang menusuk
tajam, yang terlokalisir dengan tepat. Serabut ini tidak terpengaruh oleh opiat
yang berarti bahwa nyeri dan nyeri tekan yang dihantarkan oleh serabut ini
tidak akan berkurang oleh anagesia opiat, seperti yang biasanya diperkirakan.
Akibatnya pasien yang mengalami trauma terus merasakan nyeri saat bergerak
setelah pemberian opiat (Kneale & Peter, 2008).
b.
Serabut
C
Serabut
C adalah serabut tak bermielin yang lambat, menghantarkan nyeri dengan
kecepatan kurang dari 2,5 meter perdetik, sehingga pasien menjelaskan nyeri
sebagai sensasi yang tumpul, terbakar, menusuk, berdenyut, persisten, dan tidak
terlokalisasi. Nyeri ini berespon baik terhadap opiat.
Dua
jenis serabut saraf tersebut bekerja bersama, meberi sensasi yang berbeda.
Misalnya nyeri segera pascabedah dihantarkan oleh serabut delta A tetapi
menyebarnya nyeri tersebut karena pengaruh transmisi serabut C (Kneale &
Peter, 2008).
2.4.
Patofisiologi
Rangsang
nyeri diterima oleh nociceptors dapat berupa intensitas tinggi maupun rendah
seperti perenggangan dan suhu serta lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik
akan merilis K+ dan protein intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler
akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa
keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrein, prostaglandin E2 dan
histamin yang akan merangsang nociceptor sehingga rangsangan berbahaya dan
tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).
Selain
itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan
serotonin akan terstimulasi dan merangsang nociceptor. Jika terjadi okulasi
pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+
ekstraseluler dan H+ yang selanjutnya mengaktifkan nociceptor. Histamin,
bradikinin dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan
meningkat dan juga terjadi perangsangan nociceptor. Bila nociceptor terangsang
maka mereka akan melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait
peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokontriksi yang
dipengaruhi oleh serotonin diikuti oleh vasodilatasi mungkin juga bertanggung
jawab untuk serangan migrain. Perangsangan nociceptor inilah yang menyebabkan
nyeri (Silberlnagl & Lang, 2000).
Kerusakan
jaringan akibat cidera memicu pelepasan histamin, prostaglandin dan bradikinin.
Substansi tersebut bergabung dengan area reseptor nociceptor untuk memicu
transmisi neural. Prostaglandin dihasilkan dari pemecahan fosfolipid yang
membentuk dinding sel. Prostaglandin merupakan mediator nyeri yang paling
penting dan disintesis dari asam arakidonik oleh enzim siklooksigenase. Prostaglandin
membuat nociceptor peka dan meningkatkan pengaruh dari substansi pemicu nyeri
yang lain, termasuk mempertahankan kadar bradikinin tetap tinggi.
Sebagai
bagian dari respon inflamasi terhadap trauma, bradikinin dihasilkan dari
kininogen dalam pembuluh darah kecil dan jaringan di sekitarnya. Bradikinin
merangsang area pengikat reseptor nociceptor, memicu rangkaian kejadian dalam
merespon nyeri.
Histamin
juga dihasilkan sebagai respon imun terhadap kerusakan jaringan. Histamin
merupakan agens inflamasi yang efektif, yang menyebabkan pembengkakan dengan
menimbulkan edema dan mempertahankan produk sisa secara lokal. Pada kadar yang
rendah, histamin menyebabkan sensasi gatal, tetapi pada kadar tinggi, histamin
menimbulkan nyeri hebat.
Adanya
substansi P, suatu neurotransmiter nyeri, memicu pelepasan bradikinin,
serotonin, dan histamin. Kerusakan jaringan juga menghasilkan substansi lain
yang merangsang jalur nyeri, misalnya kalium.
Setiap
individu menghasilkan jumlah substansi pemicu nyeri dan neurotransmiter
inhibitor yang berbeda.
2.5.
Pathway
|
Gambar
2.8 Pathway
|
2.6.
Pengkajian Nyeri Di Instalansi Gawat Darurat
Pengkajian
terhadap nyeri pasien disesuaikan dengan kondisi pasien meliputi usia dan
kognitif. Karena sifatnya yang subjektif, maka untuk menentukan penilaian
terhadap intensitas nyeri yang muncul dibutuhkan data-data dari parameter
klinis yang lainnya seperti visual pasien dalam menahan nyeri, peningkatan
hasil laboratorium dan adanya penyebab yang aktual. Penilaian tingkat nyeri
berbeda antara anak-anak dan dewasa. Perbedaan tersebut berada pada instrumen
yang digunakan.
Penilaian
nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi. Sebisa mungkin
intensitas, skala dan informasi dari pasien harus segera dikaji agar
penanganannya tepat. Untuk memudahkan, banyak instrumen valid yang telah dibuat
dengan berupa skala perhitungan.
a.
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala ini berbentuk
ilustrasi raut wajah manusia dengan 6 jenis ilustrasi. Ilustrasi wajah tersebut
dimulai dari senyuman hingga menangis kesakitan dan diikuti oleh keterangan
angka dibawahnya. Skala ini bisa digunakan pada pasien yang mengalami gangguan
dalam berkomunikasi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan beda budaya.
|
Gambar
2.9 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
|
b.
Verbal Rating Scale
Skala pengukuran ini terdiri
dalam lima poin yang dapat menggambarkan nyeri dari tidak nyeri, nyeri ringan,
sedang, berat dan sangat berat.
|
Gambar
2.10 Verbal Rating Scale
|
c.
Numeric Rating Scale (NRS)
Skala ini dikembangkan
pertama kali oleh Downie et.al tahun
1978. Penggunaan instrumen ini dengan menanyakan kepada pasien nyeri yang
dirasakan dari angka 0 sampai 10 dimana 0 menyatakan tidak ad nyeri dan 10
nyeri yang hebat.
|
Gambar
2.11 Numeric Rating Scale
|
d.
Visual Analogue Scale (VAS)
Skala
yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala
dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan
akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda
digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala
VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan
dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk
karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis
kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan
menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan
menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat
menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai
tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana
analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue
analgetic).
|
Gambar
2.12 Visual Analogue Scale (VAS)
|
2.7.Pengkajian
Nyeri di Intensive Care Unit
Intensive Care
Unit memiliki kondisi yang berbeda dari instalasi gawat darurat. Instrumen yang
telah banyak digunakan dan dilakukan penelitian adalah instrumen CPOT (Critical
Care Pain Observation Tool). CPOT merupakan instrumen yang dikembangkan tahun
2006 terdiri dari 4 item penelitian yaitu ekspresi wajah, pergerakan badan,
tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi dan
tidak terintubasi.
Critical Care Pain Observation Tool
merupakan salah satu instrumen valid yang dapat digunakan untuk mengukur nyeri
pasien di ICU. Instrumen ini banyak digunakan karena sudah teruji kevalidan dan
reliabelitasnya, mudah untuk penggunaanya dan mudah untuk dipahami isinya.
Sehingga penilaian terhadap nyeri pasien di ICU menjadi lebih valid lagi. Berikut
deskripsi singkat dari setiap perilaku yang diamati menggunakan CPOT (Gélinas, 2006):
a. Ekspresi
Wajah
Ekspresi wajah adalah salah satu indikator
perilaku terbaik untuk penilaian nyeri. Sebuah skor 0 diberikan ketika tidak
ada ketegangan otot diamati di wajah pasien. Sebuah skor 1 terdiri dari wajah
tegang yang biasanya dipamerkan sebagai cemberut atau alis menurunkan. Sebuah
skor 2 mengacu pada meringis, yang merupakan kontraksi dari wajah penuh termasuk
mata tertutup rapat dan kontraksi dari otot-otot pipi. Pada kesempatan, pasien
dapat membuka atau mulutnya, atau jika diintubasi, mungkin menggigit tabung
endotrakeal. Setiap perubahan lain dalam ekspresi wajah harus dijelaskan dalam
grafik, dan diberi skor 1 jika berbeda dari yang santai (0) atau meringis (2)
wajah.
b. Gerakan
Tubuh
Skor 0 diberikan ketika pasien tidak
bergerak sama sekali atau tetap dalam posisi normal sesuai penilaian klinis
perawat. Sebuah skor 1 mengacu pada gerakan pelindung, yang berarti bahwa
pasien melakukan gerakan lambat dan hati-hati, mencoba untuk mencapai atau
menyentuh situs nyeri. Sebuah skor 2 diberikan bila pasien gelisah atau
gelisah. Dalam hal ini, pasien menunjukkan gerakan berulang, mencoba untuk
menarik tabung, mencoba untuk duduk di tempat tidur, atau tidak kolaboratif.
Dari catatan, gerakan tubuh adalah perilaku kurang spesifik dalam kaitannya
dengan rasa sakit, tetapi masih penting dalam seluruh evaluasi nyeri pasien.
c. Kepatuhan
dengan ventilator
Kepatuhan dengan ventilator yang digunakan
ketika pasien ventilasi mekanik. Skor 0 mengacu pada ventilasi mudah. pasien
tidak batuk atau mengaktifkan alarm. Sebuah skor 1 berarti bahwa pasien dapat
batuk atau mengaktifkan alarm tapi ini berhenti spontan tanpa perawat harus
campur tangan. Sebuah skor 2 diberikan ketika pasien berjuang ventilator. Dalam
hal ini, pasien dapat batuk dan mengaktifkan alarm, dan asynchrony dapat
diamati. Perawat harus melakukan intervensi dengan berbicara kepada pasien
untuk meyakinkan atau dengan pemberian obat untuk menenangkan pasien turun.
d. Vokalisasi
Vokalisasi digunakan pada pasien
non-diintubasi mampu menyuarakan. Skor 0 mengacu pada tidak adanya suara atau
untuk pasien berbicara dengan nada normal. Skor 1 diberikan ketika pasien
mendesah atau mengerang, dan skor 2 ketika pasien menangis keluar (aie! Aduh!)
Atau menangis.
e. Ketegangan
Otot
ketegangan otot juga merupakan indikator
yang sangat baik dari rasa sakit, dan dianggap yang terbaik kedua di CPOT.
Ketika pasien sedang beristirahat, itu dievaluasi dengan melakukan fleksi pasif
dan perpanjangan lengan pasien. Selama berputar, perawat dapat dengan mudah
merasakan resistensi pasien ketika ia berpartisipasi dalam prosedur. Sebuah
skor 0 diberikan bila tidak ada hambatan yang dirasakan selama gerakan pasif
atau prosedur balik. Sebuah skor 1 mengacu pada perlawanan selama gerakan atau
balik. Dengan kata lain, pasien tegang atau kaku. Sebuah skor 2 terdiri dari
resistensi yang kuat. Dalam kasus tersebut, perawat mungkin tidak dapat
menyelesaikan gerakan pasif atau pasien akan menolak terhadap gerakan selama
berputar. Pasien juga dapat mengepalkan / nya tinjunya.
2.8.Dampak
pada Tubuh akibat Nyeri
Ketika
terjadi nyeri tubuh akan mengalami respon sesuai dengan rangsangan yang
diterimanya. Apabila tubuh mengalami nyeri, maka akan menimbulkan banyak efek
pada tubuh yang akan memperlama proses penyembuhan. Respon pada saraf otonom
terhadap nyeri akan menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan kontraktilitas
jantung yang akan diikuti dengan peningkatan nadi, tekanan darah dan cardiact
output. Respon tersebut akan menyebabkan beban kerja jantung meningkat sehingga
meningkatkan kebutuhan oksigen. Selain itu hal tersebut akan meperberat kondisi
iskemik pada pasien dengan sakit kritis (Morton & Fontaine, 2005).
Perubahan
pernapasan akibat nyeri akan mempengarhi proses difusi pada alveoli sehingga
jaringan akan mengalami gangguan. Termasuk mengalami gangguan pada paru-paru
diantaranya atelektasis dan penumonia. Selain itu, berbagai sistem lainnya akan
mengalami gangguan diantaranya gastrointestinal yang akan mempengaruhi proses
pencernaan, muskuloskeletal yang akan mempengaruhi kekuatan otot, dan dapat
menyebabkan penekanan pada sistem imun manusia (Morton & Fontaine, 2005).
2.9.Persepsi
Perawat Terhadap Nyeri
Persepsi
perawat terhadap nyeri sering berbeda dengan persepsi yang dimiliki pasien.
Perawat biasanya meremehkan nyeri yang dirasakan pasien dan melebih-lebihkan
keefektifan intervensi yang mereka berikan. Satu pertanyaan yang sederhana
tidak akan memberi pengkajian yang akurat terhadap nyeriyang dirasakan pasien,
harus melihat juga klinis yang ditunjukkan pasien.
Penelitian
Seers (1987) yang dimuat dalam Keneale & Peter (2011) mengatakan bahwa
perawat berpendapat nyeri yang dirasakan pasien tidak seberapa dibandingkan
dengan persepsi pasien terhadap nyeri yang dirasakannya, yang ditandai dengan
54% perawat memberikan skor nyeri lebih rendah daripada yang dirasakan pasien.
Penelitian
lanjutan Hollingswort (1994) yang dimuat dalam Keneale & Peter (2011)
mengatakan bahwa perawat di Inggris biasanya merasakan kesulitan dalam
menghadapi pasien yang ekspresif dalam mengeluhkan nyeri yang dialami.
Dengan
demikian, pengkajian awal yang akurat dan dilakukan secara reguler penting
dilakukan untuk menghasilkan data valid yang bisa menggambarkan kondisi pasien
sesungguhnya.
2.10.
Penatalaksanaan
Instalasi
Gawat Darurat menjadi salah satu gerbang masuknya pasien ke rumah sakit. Salah
satu yang menyebabkan pasien datang ke IGD karena mengalami permasalahan nyeri.
Semua pasien dengan rasa sakit yang datang ke IGD harus segera diutamakan,
didiagnosis dan dilakukan penanganan segera untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas berdasarkan instrumen pengukuran nyeri.
2.10.1.
Triase
Primer
Triasi
primer harus dilakukan kepada semua pasien yang datang ke IGD. Tujuannya adalah
untuk megenali, mendiagnosa dan mengelola rasa sakit pasien. Penilaian
dilakukan saat pertama pasien datang ke rumah sakit. Pada level ini, manajemen
nyeri bisa dilakukan dengan metode non-farmakologis. Metode lainnya adalah
dengan cara memfasilitasi mobilisasi pasien menggunakan tongkat, bed, kursi
roda dan metode lainnya yang dapat dilakukan dengan segera (Ministri of Health Circular, 2008).
2.10.2.
Triase
Secondary
Triase
ini adalah fase kedua dari triase dimana penilaian dinilai secara subjektif dan
objektif. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi, menilai dan mengelola pasien
dengan baik. Semua tanda-tanda vital dan skor nyeri harus diukur dengan
objektif. Manajemen nyeri dilakukan sesuai dengan skor nyeri dan penggunaan
alur farmakologis dan atau non-farmakologis (Ministri of Health Circular, 2008).
2.10.3.
Alur
Manajemen Nyeri di IGD
|
Gambar
2.13 A Alur penanganan pasien nyeri di IGD
|
|
Gambar 2.13 B
Alur penanganan pasien nyeri di IGD
|
|
Gambar 2.13 C
Alur penanganan pasien nyeri di IGD
|
|
Gambar 2.14
Panduan terapi farmakologi
|
|
Gambar 2.15
Wewenang pemberian terapi farmakologi
|
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1.
Kasus
Seorang
laki-laki 45 tahun dibawa ke IGD RSHS karena mengalami keluhan utama nyeri pada
dada sebelah kanan. Saat dilakukan anamnesis didapatkan data bahwa kurang lebih
2 jam SMRS mengalami kecelakaan sepeda motor. Mekanisme traumanya yaitu saat
klien mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah samping kanan ada mobil
dengan kecepatan tinggi menyenggol motor klien yang menyebabkan klien terjatuh
dengan dada membentur aspal. Anamnesis lanjutan didapatkan data bahwa klien
sempat pingsan, tidak ada muntah proyektil ataupun darah, tidak ada perdarahan
melalui hidung dan telinga.
Setibanya
di IGD dilakukan initial assestmen dan didapatkan data: RR 32 x/m, Nadi 102
x/m, TD 110/70 mmHg, Saturasi oksigen 92,4%, GCS E4 M6 V5, Pupil isokor dengan
diameter 3 mm simetris, reflek cahaya positif, tidak ada kelemahan ekstremitas.
Bentuk dan gerakan dada asimetris, hemithoraks kanan tertinggal, VBS kanan
menurun, . Terdapat luka lecet di area zygoma, terdapat jejas di dada lateral
sebelah kanan, dan pemeriksaan foto thorak didapatkan positif hemothorax kanan
lateral.
(Kasus diadopsi dari: Dr. Tri Wahyu
Murni, 2018)
3.2.
Initial Assestment
Airway
|
:
|
Tidak
ditemukan masalah pada jalan napas (Airway Clearen).
|
Breathing
|
:
|
RR
31 x/m, ada jejas di dada lateral kanan, bentuk dan gerakan dada asimetris
(gerakan dada kanan tertinggal), dan VBS kanan menurun.
|
Circulation
|
:
|
Nadi
102 x/m, TD 110/70 mmHg, CRT <2 detik.
|
Disability
|
:
|
GCS E4 M6 V5, Pupil isokor dengan
diameter 3 mm simetris, reflek cahaya positif, tidak ada kelemahan
ekstremitas.
|
Eksposure
|
:
|
Tidak
terdapat perdarahan dari telinga, hidung, mulut.
|
3.3.
Diagnosa Medis
Frakctur multiple d.d Pneumothorax d.d
Hematothorax.
3.4.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Hematologi
Px
|
Hasil
|
Unit
|
Rujukan
|
Darah
Rutin
|
|||
Haemoglobin
|
11,6
|
g/dl
|
13-18
|
Hematokrit
|
38
|
%
|
40-52
|
Leukosit
|
18.100
|
/µl
|
4.800-10.800
|
Thrombosit
|
269.000
|
/µl
|
150.000-400.000
|
Analisa
Gas Darah
|
|||
PH
|
7,364
|
-
|
7,37-7,45
|
PCO2
|
38,3
|
mmHg
|
32-46
|
PO2
|
64,1
|
mmHg
|
71-104
|
HCO3
|
21,5
|
mEq/l
|
21-29
|
TCO2
|
22,7
|
-
|
-
|
BE
|
-3,2
|
mEq/l
|
-2 - +2
|
Tabel
3.1 Pemeriksaan laboratorium hematologi
|
b.
Foto
Thorak
Gambar
3.1 Foto thorak
Intepretasi:
a.
Tampak close fraktur 1/3 klavikula
dextra, tampak close fraktur pada costae ke 2,3,4 dextra posterior.
b.
Tampak opasifikasi hemithorax dextra
dan sinistra distal.
c.
Tampak pneumothorax pada paru
sinistra.
3.5.
Terapi Medis
Nama Obat
|
Dosis
|
Rute
|
Morphine
|
5 mg/4 jam
|
IV
|
Oksigen
Canula
|
5 l/m
|
Nasal
|
IVFD
RL
|
20 tpm
|
IV
|
Tabel 3.2 Terapi
medis
|
3.6.
Analisa Data (Bisa dihapus)
Data
|
Etiologi
|
Problem
|
DS:
1.
Klien mengeluhkan merasa nyeri pada dada kanan
lateralnya.
2.
Mekanisme kecelakaan ditabrak mobil dari arah
samping kemudian terjatuh dan dada membentur aspal.
DO:
1.
Klien terlihat menahan nyeri.
2.
Saat dilakukan pengkajian nyeri didapatkan hasil:
P : Klien mengatakan nyeri terasa jika
terjadi perubahan posisi.
Q : Klien mengatakan nyerinya seperti
tertusuk benda tajam.
R : Klien mengatakan nyeri terasa paling
berat pada bagian dada sebelah kanan lateral.
S : Saat dilakukan pengukuran skala
nyeri menggunakan Numeric Rating Scale nyerinya
berada pada skala 8.
T : Klien mengatakan nyerinya
intermiten.
|
Agens Cedera
Fisik
|
Nyeri Akut
|
DS:
1.
Pasien mengatakan merasa sesak.
DO:
1.
RR 32 x/m
2.
Terdapat jejas di kanan lateral thorak
3.
Bentuk dan gerakan dada asimetris
4.
Hemithorak kanan tertinggal
5.
VBS kanan menurun
|
Deformitas
Dinding Dada
|
Ketidakefektifan
Pola Napas
|
DS:
1.
Klien mengatakan merasakan sesak
2.
Klien mengatakan kalau bernapas terasa nyeri
DO:
1.
RR 32 x/m
2.
AGD mulai terjadi perubahan
|
Perubahan
Membran Alveolar-Kapiler
|
Gangguan
Pertukaran Gas
|
Tabel
3.3 Analisa Data
|
Prioritas
Diagnosa:
a. Nyeri
Akut b.d Agens Cidera Fisik
b. Ketidakefektifan
Pola Napas b.d Deformitas Dinding Dada
c. Gangguan
Pertukaran Gas b.d Perubahan Membran Alveolar Kapiler
3.7.
Intervensi Keperawatan
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan & Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1.
|
Nyeri akut b.d Agens
Cidera Fisik
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam maka skala tingkat nyeri membaik dengan kriteria hasil:
1.
Laporan intensitas nyeri berkurang
2.
Durasi dari nyeri memendek
3.
Ekspresi wajah tidak menahan nyeri
4.
Vital sign tetap dalam rentang normal
5. Suhu dalam
rentang normal 36,5-37,5 0C
|
1.
Observasi tanda-tanda nonverbal dari ketidaknyamanan
pada klien
2.
Observasi vital sign klien setiap 1 jam
3.
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
4.
Berikan informasi kepada klien dan keluarga tentang nyeri
5.
Ajarkan klien tentang teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri (teknik relaksasi napas dalam dan distraksi)
6.
Berikan klien posisi yang nyaman untuk mengurangi
nyeri
7.
Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi
nyeri
|
2.
|
Ketidakefektifan
Pola Napas b.d Deformitas Dinding Dada
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 8 jam pasien menunjukkan keefektifan pola nafas,
dibuktikan dengan kriteria hasil:
1.
Tidak ada sianosis
dan dyspneu.
2.
Menunjukkan jalan
nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal).
3.
Vital sign dalam
rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan).
|
1.
Posisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi
2.
Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan
3.
Atur intake untuk
cairan mengoptimalkan keseimbangan.
4.
Monitor respirasi
dan status O2
5.
Pertahankan jalan nafas yang paten
6.
Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
7.
Monitor adanya
kecemasan pasien terhadap oksigenasi
8.
Monitor vital sign
9.
Informasikan pada
pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
10. Berikan okeigen
nasal canul
11. Monitor pola nafas
12. Kolaborasi
pemasangan Chest Tube Thorakotomy
|
3.
|
Gangguan
Pertukaran Gas b.d Perubahan Membran Alveolar-Kapiler
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam gangguan
pertukaran gas pasien teratasi dengan kriteria hasi:
1.
Peningkatan
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
2.
Bebas dari tanda
tanda distress pernafasan.
3.
Suara nafas yang
bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
4.
Tanda tanda vital
dalam rentang normal.
5.
AGD dalam batas
normal.
6.
Status neurologis
dalam batas normal.
|
1.
Posisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi
2.
Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan
3.
Atur intake untuk
cairan mengoptimalkan keseimbangan.
4.
Monitor respirasi
dan status O2
5.
Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
6.
Monitor suara nafas,
seperti dengkur
7.
Monitor pola nafas
: bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
8.
Auskultasi suara
nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
9.
Monitor TTV, AGD,
elektrolit dan ststus mental
10. Observasi sianosis khususnya membran mukosa
11. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan
tindakan dan tujuan penggunaan alat tambahan (O2, Suction, Inhalasi)
12. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut
jantung
13. Kolaborasi
pelaksanaan thorakothomi
|
BAB
IV
PENUTUP
Nyeri
merupakan suatu keluhan subjektif akibat terjadinya kerusakan jaringan tubuh
manusia baik secara aktual ataupun yang potensial akan mengalami kerusakan
sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman tersendiri untuk setiap individu yang
mengalami nyeri. Salah satu alasan paling umum pasien datang ke Rumah Sakit
khususnya IGD (Instalasi Gawat Darurat) adalah karena keluhan nyeri yang
dialami. Keluhan nyeri pada pasien biasanya diikuti dengan kondisi penyerta
seperti trauma. Penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 75% pasien yang datang
ke IGD dikarenakan mengalami keluhan utama yang berkaitan dengan nyeri.
Karena
nyeri bersifat subjektif, maka satu pasien dengan pasien yang lain memiliki
tingkat nyeri yang berbeda meskipun dengan kondisi penyebab yang sama. Hal
tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa tingkat nyeri sangat subjektif
dirasakan oleh masing-masing pasien. Untuk menentukan tingkat nyeri seseorang,
rumah sakit memiliki standar khusus diantaranya dengan melakukan pengkajian
menggunakan instrumen skala nyeri. Instrumen yang biasanya digunakan yaitu VAS (Visual Analog Scale), NRS (Numeric Rating Scale) dan Face Rating Scale. Instrumen tersebut
biasanya digunakan sesuai dengan kondisi pasien, misalnya pasien anak, dewasa
dan pasien tidak sadar. Nyeri berguna sebagai sebuah alarm bahwa tubuh sedang
mengalami kerusakan jaringan ataupun terjadinya proses inflamasi. Untuk
memberikan terapi dini pada nyeri, terdapat 4 hal penting yang harus
diperhatikan diantaranya adalah intensitas nyeri, pasien, patologi dan kekhasan
lokal.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang
harus mengerti banyak mengenai pain manajemen. Karena berdasarkan penelitian
masih diperlukan penyamaan persepsi antar perawat dan pasien agar apa yang
dirasakan pasien dapat tergambar dengan jelas dan dapat diberikan tindakan yang
tepat.
Mudah-mudahan penyusunan penugasan ini bisa bermanfaat
untuk sumber dalam melakukan tindakan ke pasien dan bermanfaat sebagai bahan
acuan untuk proses perkuliahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahrudin,
M. (2017). Patofisiologi nyeri. Simposium Nyeri, 13(1), 11–29.
Bogduk, H. M. and N. (2017). Pain Term. Retrieved from
http://www.iasp-pain.org/Education/Content.aspx?ItemNumber=1698#Pain
Downey, L. V., & Zun, L. (2010). Pain management in the
emergency department and its relationship to patient satisfaction. Journal
of Emergencies, Trauma, and Shock, 3(4), 326.
https://doi.org/10.4103/0974-2700.70749
Galinski, M., & Adnet, F. (2007). Acute pain management
in emergency medicine. Reanimation, 16, 652–659.
https://doi.org/10.1016/j.acpain.2008.01.038
Gélinas, C. (2006). The Critical Care Pain Observation Tool (
CPOT ). Pain, 15(4).
Grichnik, K. P., & Ferrante, F. M. (1991). The difference
between acute and chronic pain. The Mount Sinai Journal of Medicine, New
York, 58(3), 217–220.
Guru, V., & Dubinsky, I. (2000). The patient vs.
caregiver perception of acute pain in the emergency department. Journal of
Emergency Medicine, 18(1), 7–12. https://doi.org/10.1016/S0736-4679(99)00153-5
Hjermstad, M. J., Fayers, P. M., Haugen, D. F., Caraceni, A.,
Hanks, G. W., Loge, J. H., … Kaasa, S. (2011). Studies comparing numerical
rating scales, verbal rating scales, and visual analogue scales for assessment
of pain intensity in adults: A systematic literature review. Journal of Pain
and Symptom Management, 41(6), 1073–1093.
https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2010.08.016
Kumar, K. H., & Elavarasi, P. (2016). Definition of pain
and classification of pain disorders. Journal of Advanced Clinical &
Research Insights, 3(June), 87–90.
https://doi.org/10.15713/ins.jcri.112
Ministri of Health Circular. (2008). PAIN MANAGEMENT IN
EMERGENCY AND TRAUMA As part of. Kementrian Kesihatan Malaysia.
Untari, I. (2012). Kesehatan Otak Modal Dasar Hasilkan SDM
Handal. Jurnal Profesi, 08(September), 1–7.
Silbernagl/Lang.
2000, Pain in Color Atlas of Pathophysiology , Thieme New York. 320-321
Soetikno,
R.D. 2011. Radiologi Emergensi. Bandung: PT. Refika Aditama
Muliawan,
E. 2013. Prosdur Penting dalam Kedaruratan. Jakarta: EGC
Kneale, J., Peter, D. 2008. Orthopedic and
Trauma Nursing 2E. United Kingdom: Elsevier
Morton, P. G., & Fontaine, D. (2005). Critical
care nursing: A holistic approach. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams
& Wilkins.
No comments:
Post a Comment