KEGAWATDARURATAN
PEDRIATIK
KEJANG
DEMAM DAN TATALAKSA: LITERATUR REVIEW
PROGRAM
STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2018
Pendahuluan
K
|
ejang demam (demam) adalah tipe
gangguan kejang masa kanak-kanak yang paling umum, yang terjadi pada usia
tertentu, dikaitkan dengan demam 38,0 ℃
atau lebih tinggi, dan tidak ada bukti adanya penyakit penyebab yang pasti,
seperti sistem saraf pusat. (CNS) infeksi atau kelainan metabolik (Chung, 2014). Kejang demam telah
didefinisikan secara berbeda oleh National
Institutes of Health (NIH), International
League against Epilepsy (ILAE), dan American Academy of Pediatrics (AAP).
NIH (1980) mendefinisikan Febrile Seizures sebagai berikut: kelistrikan neuron
yang abnormal, tiba-tiba, berlebihan (materi abu-abu) yang merambat proses
neuronal (materi putih) untuk mempengaruhi organ akhir secara klinis, kondisi
ini terjadi pada masa bayi atau masa kanak-kanak, biasanya antara 3 bulan dan 5
tahun (Chung, 2014). ILAE (1993)
mendefinisikan kejang demam sebagai kejang yang terjadi pada masa kanak-kanak
setelah usia 1 bulan, terkait dengan penyakit demam yang tidak disebabkan oleh
infeksi SSP, tanpa kejang neonatal sebelumnya atau kejang tidak beralasan
sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria gejala akut lainnya (Chung, 2014).
Kejang
demam dianggap sebagai "sindrom" karena memenuhi beberapa
karakteristik yang serupa di antara anak-anak yang terkena: (1) Kejang demam
umumnya terjadi dalam rentang usia terbatas; (2) mayoritas anak-anak dengan
kejang demam menunjukkan perkembangan neurologis dan struktural yang normal
setelah episode; dan (3) Kejang demam tidak terkait dengan anomali struktural
atau perkembangan di otak, meskipun keberadaan patologi tersebut dapat meningkatkan
kerentanan terhadap kejang demam, 6). Genetika, komorbiditas (kelahiran
prematur, retardasi pertumbuhan janin), dan faktor risiko lingkungan (paparan
nikotin dalam rahim, atau penggunaan antihistamin) dapat meningkatkan risiko
kejang demam selain faktor usia (Banks, Paul, & Wall, 2011; Fetveit, 2008).
Kejadian
kejang demam paling umum terjadi semasa kecil antara usia 6 hingga 60 bulan
yang mempengaruhi sekitar 2-5% anak-anak pada kelompok usia tersebut.
Prevalensi kejang demam dilaporkan tinggi dibeberapa negara-negara asia
diantaranya terjadi 8% di Jepang dan 16% di China (Wanigasinghe, 2017). Penelitian lain
mengungkap prevalensi kejang demam terjadi pada 3% hingga 5% pada anak-anak di
Amerika Utara dan Eropa serta mencapai
14% pada anak-anak yang berada pada wilayah Asia (Farrell & Goldman, 2011).
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah untuk menentukan bagaimana penatalaksanaan kejang
demam apabila terjadi di rumah atau jauh dari pusat pelayanan kesehatan.
Harapannya kejadian cidera atau kematian pasca terjadinya kejang demam dapat
dikurangi dan angka harapan hidup menjadi lebih baik lagi.
Diagnosis
Ketika
anak mengalami kondisi kejang demam, sebagai petugas kesehatan di IGD harus
bisa mengkaji riwayat sebelumnya secara detail, dan harus melakukan pemeriksaan
fisik untuk mendapatkan diagnosa yang tepat serta bisa mengidentifikasi
penyebab demam, menurut (Paul, Blaikley, & Chinthapalli, 2012) daiagnosa banding
pada kasus kejang demam pada anak meliputi:
a. Menggigil
tanpa terjadi penurunan kesadaran.
b. Delirium.
c. Demam
disertai keadaan pingsan.
d. Ada
tahanan pernapasan disertai kehilangan kesadaran.
e. Pengembangan
sindrom Epilepsi.
f.
Infeksi pada sistem saraf pusat,
meningitis dan encepalitis.
Pengkajian
pada pasien yang mengalami kondisi kejang demam juga penting dilakukan
pengkajian riwayat penyakit sebelumnya serta penyakit keluarga, apakah keluarga
pernah mengalami kondisi seperti yang dialami oleh pasien, menurut (Chung, 2014; Fetveit, 2008) petugas kesehatan
harus bisa menggali informasi yang penting terkait kejang demam yang dialami
oleh pasien, diantaranya:
a. Jenis
serta durasi dari kejang yang terjadi
b. Durasi
post-ictal phase
c. Lamanya
demam yang terjadi
d. Penggunaan
antibiotik
e. Gejala
lain seperti keulitan bernafas dan diare
f.
Status Imunisasi
g. Riwayat
kejang sebelumnya
h. Riwayat
keluarga terkait dengan kejang demam, dan epilepsi
i.
Penggunaan antipiretik
j.
Penggunaan obat golongan anticonvulsants
Pengkajian
fisik yang diperlukan meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan ini juga
berfungsi untuk melihat apakah pasien mengalami infeksi pada jaringan meningen,
dengan melihat adanya kaku kuduk pada pasien (Chung, 2014; Fetveit, 2008), pemeriksaan
tersebut bisa digunakan untuk menilai adanya infeksi sistem saraf pusat pada
anak-anak (Paul et al., 2012),
Pemeriksaan
diagnostik yang bisa dilakukan untuk memperkuat tegaknya diagnosis kejang demam
diantaranya:
a. Pemeriksaan
darah lengkap, elektrolit, C-reactive Protein, Calsium, glucose, magnesium,
urea, serta kultur darah untuk menilai adanya bakteri terkait sepsis.
b. Urinalisa,
serta urine kultur
c. X-ray
dada
d. Kultrur
Feses
e. Fungsi
Lumbal
f.
Electroencephalography
(EEG)
(Paul et al., 2012)
Jenis Kejang Demam
Kejang
demam dapat dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu (Wanigasinghe, 2017):
a. Kejang
Demam Sederhana
Kejang
demam sederhana merupakan penyumbang sekitar 70% kejadian kejang yang terjadi
pada anak. Kejang demam sederhana terjadi pada anak dengan durasi kurang dari
15 menit, tanpa tanda khusus, dan terjadi sekali dalam kondisi demam pada anak.
b. Kejang
Demam Kompleks
Kejang
demam kompleks penyumbang sekitar 30% sisa dari kejang demam sederhana. Kejang
demam kompleks terjadi dengan durasi yang lebih panjang dari kejang demam
sederhana sekitar lebih dari 15 menit, ada gangguan fokal dan terjadi lebih
dari satu kali dalam periode demam anak serta diikuti dengan gangguan sistem
saraf pada anak setelah terjadi keadaan kejang mulai dari hari ke 0 hingga
beberapa hari kedepan.
|
Tabel
1. Karakteristik kejang demam (Paul,
2016).
|
Faktor yang
Mempengaruhi Kekambuhan Kejang Demam
|
Tabel
2. Faktor yang mempengaruhi kekambuhan kejang demam (Farrell
& Goldman, 2011).
|
Penatalaksanaan
Kejang Demam
Pada
penanganan awal di unit gawat darurat, petugas kesehatan hal yang paling
penting harus dilakukan adalah memanage kondisi anak, beberapa pasien biasanya
datang ke UGD fase kejang sudah selesai, tapi beberapa juga masih dalam kondisi
kejang, pada kondisi kejang penatalaksanaan awal yang dilakukan menggunakan
metode ABCDE (Paul et al., 2012).
Pada
resusitasi kasus kejang demam, petugas kesehatan bisa menghadirkan keluarga
pasien, menurut (Maxton, 2008) keuntungan
menghadirkan keluarga pada fase resusitasi diantaranya:
a. Keluarga
akan merasakan keterlibatan dalam perawatan anak-anak mereka dan keluarga
merasa dekat dengan anaknya
b. Membantu
orang tua dalam memahami bahwa pasien menerima perawatan sebaik mungkin serta
memberikan motivasi kepada petugas kesehatan bahwa mereka bisa melakukan
tindakan yang terbaik untuk pasien.
c. Meningkatkan
hubungan antara keluarga dengan tenaga kesehatan
Pada
kondisi setelah pasien mengalami kejang demam, perawat bisa memberikan edukasi
kepada keluarga, edukasi yang tepat menurut (Village, 2008) diantaranya:
a. Penggunaan
antipiretik yang aman
b. Mempertahankan
status hidrasi, serta mengidentifikasi tanda dan gejala dehidrasi
c. Mengidentifikasi
non-blanching rash
d. Memantau
anak pada malam hari
e. Mencari
bantuan lebih lanjut jika anak-anak mengalami kejang lebih lanjut atau jika
demam berlangsing selama lebih dari lima hari atau jika kondisi anak memburuk
Keluarga
dan tenaga kesehatan sering menganggap bahwa peningkatan suhu berarti akan
meningkatkan resiko kejang demam, dimana hal tersebut mengakibatkan penggunaan
antipiretik berlebihan (Banks et al., 2011). Beberapa
penelitian menunjukan bahwa meskipun penggunaan antipiretik dapat mengurangi
suhu tubuh tidak mengurangi tingkat kekambuhan pada kondisi kejang demam (Banks et al., 2011; Chung, 2014). Penggunaan
antipiretik hanya digunakan untuk mengurangi kondisi ketidaknyamanan pada
pasien berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, salah satu cara untuk
menurunkan suhu tubuh anak bisa dengan menyarankan anak banyak minum untuk
menjaga status hidrasinya (Banks et al., 2011).
Terapi
yang bisa digunakan saat dirumah untuk penanganan kejang demam diberikan obat
gilingan benzodiazepin, seperti diazepam rektal, atau midazolam buccal yang
digunakan untuk emnghentikan kejang (Fetveit, 2008). Golongan benzodiazepin
diberikan kepada anak yang mengalami kejang demam dalam waktu lebih dari 15
menit (Paul et al., 2012)
Pada
pasien yang mengalami kejang demam yang sudah dipastikan karena permasalahan
infeksi dilakukan observasi selama 6 jam setelah episode kejang (Shah, James, & Elayaraja, 2017). Observasi pada
pasien kejang ini menurut (Village, 2008) direkomedasikan
untuk:
a. Anak
yang berusia dibawah 18 bulan
b. Terjadi
kejang demam yang berkepanjangan atau bersifat kompleks
c. Adanya
resiko kekambuhan
d. Di
curigai adanya meningitis atau ensefalitis
e. Tidak
adanya sumber infeksi yang jelas
f.
Anak menunjukan keterlambatan perkembangan
atau kelainan neurologis
g. Orang
tua tidak dapat mengatasi atau memantau kondisi pasien secara ketat segera
setelah kejang demam anak.
|
Tabel
3. Penatalaksanaan medis kejang demam (Paul,
2016).
|
Model Pendekatan 4
Langkah Penanganan Kejang Demam
Mohammadi, (2010), menyusun sebuah
model untuk penanganan kejang demam pada anak yang telah dipublikasikan pada Iranian Journal of Pediatrics sebagai
berikut:
1. Pengumpulan Data Pasien
Pada tahap ini tim medis mengumpulkan data yang
relevan dari orang tua pasien. Informasi yang harus dikaji diantaranya:
a. Usia
pasien.
b. Riwayat
kejang pada keluarga.
c. Riwayat
tumbuh kembang anak.
d. Durasi
saat kejang terjadi.
e. Kompleksitasnya.
f.
Adanya papilledema.
g. Tanda
gejala non spesifik saat bayi berusia kurang 18 bulan.
h. Kelainan
fisik saat terjadi kejang pada anak.
i.
Adanya pethecie.
2. Penilaian Resiko
Terdapat
tiga klasifikasi diantaranya:
a. Intepretasi
faktor resiko:
1) Riwayat
keluarga mengalami kejang demam.
2) Usia
kurang 18 bulan.
3) Suhu
tubuh terendah pasien.
4) Durasi
demam.
b. Faktor
yang memungkinkan:
1) Riwayat
epilepsi pada keluarga.
c. Tidak
memiliki faktor resiko:
1) Kelainan
perkembangan saraf.
2) Kompleksitas
kejang demam.
3) Jenis
kelamin.
4) Etnis
pasien.
3. Seleksi Pasien
Fase ketiga ini untuk menentukan profilaksis dan
perawatan pada anak dengan kejang demam. Tindakan yang perlu dilakukan
diantaranya:
a. Jarak
tempat tinggal pasien dari pusat pelayanan kesehatan.
b. Pasien
yang memiliki riwayat gangguan neurologi sebelumnya.
c. Ketika
pasien memiliki tiga atau lebih faktor resiko pada fase 2.
4. Pemilihan Strategi Pengobatan
Fase
ini untuk menentukan strategi pengobatan saat pasien masih di rumah dan di
rumah sakit. Tim medis diharuskan memberikan pendidikan kesehatan pada orang
tua mengenai penanganan sederhana apabila anak mengalami kejang demam. Salah
satu yang dapat diajarkan kepada orang tua adalah bagaimana menggunakan obat
anti kejang diazepam melalui anus anak saat terjadi kondisi darurat di rumah.
|
Gambar
1. Model pendekatan empat langkah mengatasi kejang demam (Mohammadi,
2010).
|
Algoritma
Initial assesment pada kasus kejang demam anak
|
Gambar
2. Algoritma penanganan kejang demam anak (Fetveit,
2008)
|
DAFTAR PUSTAKA
Banks, T., Paul, S. P., & Wall, M. (2011).
Managing fever in children with a single antipyretic. Nursing Times.
Chung, S. (2014). Febrile seizures. Korean
Journal of Pediatrics. https://doi.org/10.3345/kjp.2014.57.9.384
Farrell, K., & Goldman, R. D.
(2011). The management of febrile seizures, (August), 268–273.
Fetveit, A. (2008). Assessment of
febrile seizures in children. European Journal of Pediatrics, 167(1),
17–27. https://doi.org/10.1007/s00431-007-0577-x
Maxton, F. J. C. (2008). Parental
presence during resuscitation in the PICU: The parents’ experience: Sharing and
surviving the resuscitation: A phenomenological study. Journal of Clinical
Nursing. https://doi.org/10.1111/j.1365-2702.2008.02525.x
Mohammadi, M. (2010). Febrile
Seizures : Four Steps Algorithmic Clinical Approach, 20(1), 5–15.
Paul, S. P. (2016). MANAGEMENT OF
FEBRILE, 23(2).
Paul, S. P., Blaikley, S., &
Chinthapalli, R. (2012). Clinical update: febrile convulsion in childhood. Community
Practitioner : The Journal of the Community Practitioners’ & Health
Visitors’ Association.
Shah, P. B., James, S., &
Elayaraja, S. (2017). EEG for children with complex febrile seizures. Cochrane
Database of Systematic Reviews.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD009196.pub4
Village, G. (2008). Febrile Seizures:
Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of the Child With
Simple Febrile Seizures. Pediatrics.
https://doi.org/10.1542/peds.2008-0939
Wanigasinghe, J. (2017). Management
of simple febrile seizures, 46(2), 165–171.
No comments:
Post a Comment