TATA KELOLA MANAJEMEN ASUHAN PASIEN DI INSTALASI GAWAT
DARURAT
(APLIKASI EARLY
WARNING SYSTEM)
KAJIAN LAPANGAN DAN LITERATUR
Diajukan untuk memenuhi tugas individu
mata ajar Tatakelola Klinis
Disusun Oleh :
Kelompok II - Peminatan
Keperawatan Kritis
Yeni
Binteriawati 220120170002
Donny
Nurhamsyah 220120170010
Rycco
Darmareja 220120170018
Indah
Dwi Astuti 220120170019
Roshy
Damayanti 220120170032
Yogasliana
Fathudin 220120170041
Nuni
Apriani 220120170053
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJAJARAN
2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan kajian
lapangan dan literatur pada matakuliah tata kelola klinis
dengan judul “Tata kelola
manajemen asuhan pasien di intalasi gawat darurat: Aplikasi Early Warning
System”.
Makalah ini tidak lepas
dari peran serta dosen mata ajar dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu
penulis menyampaikan terima kasih kepada Serta semua pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat memberi manfaat walau
sekecil apapun untuk semua pihak.
Bandung,
September 2018
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang
Dalam 10 tahun
terakhir ini telah banyak dikembangkan berbagai upaya yang bertujuan untuk
meningkatkan aksesibilitas (accessibility)
dan kesetaraan (equality) masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan, yang selanjutnya diikuti pula dengan peningkatan
mutu (quality improvement) pelayanan
kesehatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir sepatuh dari penduduk
dunia belum dapat menikmati kesamaan hak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu. Selain itu juga disadari bahwa dalam perjalanannya banyak
ditemukan upaya-upaya asuhan di klinik yang cenderung berlebihan dan kadang
justru membahayakan pasien yang kemudian berdampak pada inefisiensi dan
pemborosan.
Dalam era
globalisasi yang dicirikan oleh tingginya tingkat kompetisi, kemandirian dan
inovasi, pendekatan pelayanan kesehatan menghadapi perubahan yang cukup bermakna.
Pelayanan kesehatan yang hanya bertumpu pada ketersediaan jenis pelayanan,
aksesibilitas, dan kepuasan pasien akan semakin ditinggalkan orang. Tuntutan
terhadap mutu pelayanan menjadi sangat dominan, dan mulai sekarang sudah
dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak untuk dipenuhi. Yang perlu
disadari adalah bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi
salah satu major needs bagi sebagian besar populasi. Hal ini berkaitan erat
dengan quality of life, produktivitas, waktu dan kesempatan yang hilang akibat
sakit (lost opportunity), dan resiko kecatatan (disability) dan kematian akibat
sakit.
Dunia kesehatan
terutama rumah sakit dan klinik pada saat ini mau tidak mau dihadapkan pada dua
dilema utama. Pertama adalah bagaimana meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
agar dapat diterima secara luas oleh masyarakat (consumer), dan kedua adalah bagaimana dengan pelayanan yang
diberikan dapat diperoleh keuntungan yang memadai. Meskipun di antara keduanya
tidak (dianggap) terdapat dikotomisasi, dampak dari dua kepentingan tersebut
sangat beragam, antara lain adalah sering diabaikannya kaidah-kaidah terapi
yang medically appropriate,
evidence-based, dan scientifically
acceptable.
Konsep clinical governance diperkenalkan
pertama kali melalui suatu publikasi yang berjudul The New NHS: Modern, Dependable, merupakan yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan Inggris pada tahun 1997. Istilah ini selanjutnya diadopsi
dan dikembangkan melalui A First Class
Service yang merupakan strategi baru bagi NHS, juga diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan Inggris. Dimana mendefinisikan tata kelola klinis sebagai
sebuah mekanisme baru yang komprehensif untuk memastikan bahwa standar asuhan
klinis tetap terjaga melalui system kesehatan dan mutu pelayanan yang selalu
ditingkatkan dimana site mini dibuat untuk meningkatkan standar praktik klinis
adaapun terdapat tujuh unsur dari tata kelola klinis yaitu : 1). Patient, user and carer involvement; 2).
Risk management and patient safety; 3). Clinical audit : quality; 4). Research
and effectiveness; 5). Staffing and staf management; 6). Education, training
and development; 7). Use of information.
Dari ketujuh unsur
tata kelola itu harus berinergi dan saling menunjang tidak bisa di interpensi
pada satu unsur saja, yang sering terjadi masalah pada ketujuh unsur tersebut
di area kritis adalah kolaborasi maka perlu dibuat sitem pencegahan yang dapat
menurunkan error dalam pemberian asuhan, salah satu system yang dapat membantu
hal tersebut adalah EWS (Early Warning
System scoring) dimana interdisiplin di tuntut harus berprran serta dalam
mengahadapi pasien kepada perburukan atau bahkan kematian selain itu EWS juga
meningkatkan patient safety dan membantu dalam kualitas audit klinik.
Early Warning
System didefinisikan sebagai proses sistemik untuk
mengevaluasi dan mengukur resiko awal dalam mengambil langkah-langkah preventif
serta meminimalkan dampaknya terhadap sistem pelayanan dan pembiayaan. Sistem
peringatan dini di definisikan sebagai prosedur khusus untuk deteksi dini
sebelum pemindahan pasien ke ruangan dari keadaan normal, kasus kritis atau
reaktor serologis penyakit tertentu. Pelaksanaan Early Warning System di dalam Rumah Sakit digunakan sebagai alat
observasi yang efektif untuk pasien dan menjadi kunci penting utama
mengidentifikasi perburukan keadaan pasien dan secara efektif memanajemen
tindakan yang sesuai untuk pasien. Penggunaan Early Warning System berdampak pada pencegahan perburukan keadaan
pasien menjadi keadaan yang kritis, masuk kedalam ruang unit intensif, dan/atau
kematian.
EWS didasarkan atas penilaian terhadap perubahan
keadaan pasien melalui pengamatan yang sistematis terhadap semua perubahan
fisiologi pasien. System ini merupakan konsep pendekatan proaktif untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan hasil klinis pasien yang lebih baik dengan
standarisasi pendekatan asessment dan menetapkan skoring parameter fisiologis
yang sederhana dan mengadopsi pendekatan ini dari Royal College of Physicians (National Health Services, 2012).
EWS menggunakan pendekatan sederhana berdasarkan dua
persyaratan utama yaitu metode yang sistematis untuk mengukur parameter
fisiologis sederhana pada semua paisen untuk memungkinkan identifikasi awal
pasien yang mengalami penyakit akut atau kondisi perburukan. Yang kedua yaitu
mengenai ketepatan urgensi dan skala respon klinis yang diperlukan dan
disesuaikan dengan beratnya penyakit. EWS dapat menurunkan error pada asuhan sehingga
meminimalkan dampaknya terhadap sistem pelayanan dan pembiayaan. Hal ini sesuai dengan tujuan tata kelola klinis
sehingga dapat di pakai sebagai system standar dalam pelayanan di klinis.
1.2.Tujuan
Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah diharapakan mahasiswa dapat
memahami tata kelola klinis
dengan tema EWS diarea keperawatan kritis khususnya pada tatanan pelayanan
gawat darurat.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan
tentang tata kelola klinis yang berkaitan dengan pengelolaan EWS diarea keperawatan kritis khususnya pada tatanan
pelayanan gawat darurat.
b. Menjelaskan
tentang tata kelola ideal sesuai dengan referensi pada tata kelola yang
berkaitan dengan EWS diarea
keperawatan kritis khususnya pada tatanan pelayanan gawat darurat.
1.3.Manfaat
penulisan
Manfaat Penulisan
makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa program magister keperawatan
mengenai salah satu masalah
tata kelola klinis dengan tema EWS di area kritis, sehingga
nantinya penetahuan ini dapat dijadikan pedoman bagi mahasiswa atau perawat
pada umumnya dalam memberikan asuhan keperawatan yang holistik dan optimal serta berdasar pada evidence terutama masalah yang
menyakut EWS
1.4.Metode
Penulisan
Penulisan makalah dilaksanakan berdasarakan pada hasil pemaknaan dari wawancara dengan pihak
terkait mengenai topic dari tata kelola klinis yang berasa di area kritis yaitu
EWS dan di bandingkan dengan penelaahan terhadap sumber referensi
tekait materi dari sumber elektronik dan text
book, penelusuran artikel dilaksanakan pada database seperti Google
Scholar, ProQuest, dan Ebscohost dengan kata kunci “good clinical
governance” dan “early warning scoring system “.
Referensi berasal dari artikel yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris dan
Indonesia yang selanjutnya dianalisa sehingga dapat menjadi acuan dalam
pembuatan makalah.
BAB
II
LITERATUR
REVIEW
2.1. Tatakelola
Klinis di Rumah Sakit
Sistem tata kelola klinis (good clinical governance) pertama kali dikembangan di Inggris pada
tahun 1990an. Tata kelola klinis timbul karena berbagai kenyataan buruk dalam
sistem pelayanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Selain itu,
sistem tata kelola klinis mundul karena adanya implementasi pendekatan total quality management (TQM) atau continuous quality improvement (CQI)
untuk pelayanan kesehatan dengan alasan tidak dapat diterima secara luas karena
para staf klinis menilai TQM dan TCQ tersebut terlalu merujuk ke manajemen
tanpa identifikasi peran yang jelas untuk para klinisi dalam meningkatan
kualitas mutu pelayanan (Halligan & Donaldson, 2013).
Tata kelola klinis adalah suatu sistem yang
menjamin organisasi pemberi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk
terus-menerus melakukan perbaikan mutu pelayanan dan menjamin memberikan
pelayanan dengan standar yang tinggi dengan menciptakan lingkungan dimana
pelayanan prima akan berkembang (Scally & Donaldson, 1998). Penekanan pada
tata kelola klinis merujuk pada bagaimana mencapai perawatan pasien yang
berkualitas tinggi dan bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan tersebut (Chandraharan & Arulkumaran, 2007).
Sistem tata kelola klinis bertujuan untuk
menciptakan layanan kesehatan modern yang dipimpin oleh pasien yang responsif
dan secara konsisten menuju kepada kulaitas pelayanan yang sangat tinggi.
Sistem ini merupakan sebuah kerangka atau kerangka kerja yang memungkinkan
sebuah organisasi menempatkan sisten dan proses yang akan memastikan keunggulan
klinis (Chandraharan & Arulkumaran, 2007).
Baru – baru ini tata kelola klinis telah dianggap
sebagai istilah payung yang mencakup beberapa tema dan proses yang bersama-sama
memastikan lingkungan di mana keunggulan klinis akan berkembang. Dengan cara
yang sederhana, seorang pasien dapat dibayangkan berdiri di bawah payung yang
diciptakan oleh interaksi semua tema dan proses. Bersama-sama mereka memastikan
keamanan dan kualitas perawatan pasien dan setiap kegagalan atau kekurangan
cenderung menyebabkan kebocoran dalam payung yang dapat berdampak buruk
terhadap keselamatan atau pengalaman pasien.
Konsep tata kelola klinis telah mengalami transformasi
sejak didirikan pada tahun 1998. Awalnya tujuh pilar diidentifikasi mendukung
kerangka tata kelola klinis, yang meliputi (Chandraharan & Arulkumaran, 2007):
1. Pasien dan dan keterlibatan publik,
yang mengacu pada keterlibatan pasien dalam keputusan tentang perawatan mereka
serta masukan mereka dalam mengembangkan layanan. Sangat penting memberikan
informasi kepada pasien dalam bentuk media cetak atau sesuatu yang mudah
dimengerti oleh pasien, agar lebih mudah bagi mereka untuk membuat keputusan
berdasarkan informasi tentang perawatan mereka. Tenaga medis perlu
mendiskusikan berbagai pilihan manajemen dan menghormati keputusan pasien dan
menawarkam dukungan dalam setiap pilihan yang mereka ambil
2. Efektifitas klinis,
yang mengacu pada penggunaan pedoman berbasis bukti dalam praktik klinis.
Konsep efektifitas klinis dan efektifitas biaya, didukung oleh bukti penelitian
yang baik. Efektifitas klinis menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada
pasien didasarkan pada bukti dan akan memberikan hasil yang positif. Tata
kelola klinis yang berpusat pada efektifitas klinis, merupakan tata kelola yang
melibatkan praktik berbasis bukti. Acuan terbaru mengacu pada bukti terbaik
yang ada dalam membuat keputusan tentang perawatan pasien individu. Struktur,
proses dan hasil harus diaudit dan perubahan tersebut dilakukan untuk
meningkatkan kualitas. Penelitian untuk menemukan strategi manajemen baru yang
dapat membantu meningkatkan perawatan pasien harus dikembangkan untuk mendukung
perubahan ke arah yang lebih baik.
3.
Audit
klinis mengukur
apa yang telah dikerjakan dibandingkan dengan standar yang seharusnya
dijalankan dan kemudian melakukan perbaikan. Audit klinik merupakan bagian yang
penring dari tiap pelayanan kesehatan yang profesional dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu. Prinsip penting dalam audit kinik meliputi
identifikasi dan definisi objek, membuat standar atau tujuan, menilai dan
mengukur mutu, identifikasi dan definisi objek, membuat standar atau tujuan,
menilai dan mengukur mutu, identifikasi perubahan yang diperlukan, implementasi
perubahan, monitoring efek perubahan. Tujuan utama dari audit adalah untuk efek
positif pada mutu pelayanan dan efektifitas pelayanan pada pasien.
4. Manajemen resiko
yang mengacu pada budaya, proses dan struktur yang diarahkan untuk mewujudkan
peluang potensial sambil mengelola kejadian tidak diharapkan. Hal ini
melibatkan resiko, analiss dan evaluasi resiko, perlakuan resiko dan
pengendalian resiko yang melibatkan berbagi dan belajar dari insiden resiko
buruk. Seluruh staf harus belajar dari indsiden buruk yang pernah terjadi atau
resiko yang mungkin terjadi untuk mengurangi kemungkinan terulang kembali.
Manajemen resiko klinis mempunyai tiga komponen utama, yaitu identifikasi
resiko, analisa resiko dan pengawasan reiko. Pendekatan sistemik manajemen
resiko meliputi pelaporan kejadian tidak diharapkan (KTD), analisa kejadian,
audit kejadian, dan analisa akar penyebab.
5.
Manajemen
kepegawaian dan staf merupakan bagian integral dari tata
kelola klinis. Dimulai dari rekrutmen pegawai yang mencerminkan aktivitas
klinis (baik saat ini dan yang diproyeksikan) dan menyediakan mix skill yang diperlukan untuk
memastikan kualitas tertinggi perawatan pasien. program induksi staf harus kuat
dan komperhensif. Retensi staf dapat ditingkatkan dengan kerja yang fleksibel,
pembagian kerja dan meningkatkan kepuasan kerja. Staf yang dirawat dengan baik
dan termotivasi cenderung memiliki kinerja yang lebih baik.
6.
Pelatihan,
pendidikan dan pendidikan profesional berkelanjutan.
Pengetahuan medis berubah dan berkembang dengan sangat pesat, diantaranya
melibatkan perubahan paradigma dalam praktik. Ini mengharuskan staf untuk terus
memperbarui diri dan melengkapi diri dengan pengerahuan terbaru untuk
memberikan perawatan pasien yang aman dan tepat. Pengembangan profesional yang
berkelanjutan harus menjadi tanggung jawab praktisi individu budaya yang harus
dipromosikan. Kepercayaan memiliki tanggung jawab untuk mendukung staf dalam
hal ini karena memiliki implikasi untuk kualitas perawatan pasien. Pelatihan
mengenai penanganan penyakit-penyakit terbaru perlu diadakan untuk meningkatkan
hasil klinis dan mengurangi komplikasi serta hasil yang merugikan.
7.
Penggunaan
informasi untuk meningkatkan perawatan pasien mencakup
manajemen yang efisien dan tepat dalam catatan kesehatan (rekam medis) dan
informasi perawatan pasien. Penting untuk memastikan bahwa rekam medis pasien
tersedia di setiap kedatangannya, serta harus dihindari penggunaan catatan
sementara mengenai informasi kesehatan pasien karena dapat berkontribusi pada
resiko terjadinya insiden.
Pilar-pilar tersebut didirikan di atas 5 landasan,
yaitu sistem kesadaran (system awareness),
kepemimpinan, kepemilikan, kerja tim dan komunikasi. Untuk menerapkan tata
kelola klinis dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit memerlukan kerja sama
antar klinisi dan manajer. Keduanya bertanggung jawan atas kualitas pelayanan
klinik. Tata kelola klinis harus diakui sebagai bagian terintegrasi dari
manajemen dan praktik klinis yang baik serta harus dijadikan bagian dari budaya
organisasi. Agar efektif, tata kelola klinis harus diintegrasikan ke dalam
budaya organisasi, parkit dan rencana bisnis tidak hanya sebagai proyek atau
program terpisah.
Pelayanan klinis merupakan core business dari rumah sakit yang perlu mendapat perhatian khusus
terutama yang menyangkut keselamatan pasien dan profesionalisme dalam
pelayanan. Untuk pengembangan sistem pelayanan klinis dilakukan melalui
penerapan good clinical governance.
Konsep ini dikembangkan oleh National
Health System (NHS) dan diadopsi di indonesia untuk peningkatan mutu
pelayanan klinis di rumah sakit dan menjamin keselamatan pasien, yang
diharapkan menjadi kerangka kerja dalam meningkatkan mutu pelayanan klinis di
rumah sakit.
Adapun tujuan akhir diterapkannya good clinical governance adalah untuk menjada agar pelayanan
kesehatan dapat terselenggara dengan baik berdasarkan standar pelayanan yang
tinggi serta dilakukan pada lingkungan kerja yang memiliki tingkat
profesionalisme tinggi. Dengan demikian, pada akhirnya akan mendukung upaya
mewujudkan peningkatan derajat kesehatan melalui upaya klinis yang maksimal
dengan cost efective yang maksimal.
Secara umum,ada lima prinsip dasar yang terkandung
dalam good clinical governance menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut adalah transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan kesetaraan/ kewajaran. Namun
dalam Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan
hanya empat prinsip yang pertama. Secara lebih rinci prinsip - prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai
berikut:
1.
Transparansi (Transparancy)
yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini
adalah terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest )
berbagai pihak dalam manajemen.
2.
Akuntabilitas (
Accountability) yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan
lembaga dapat terlaksana dengan baik. Dengan terlaksananya prinsip ini,
lembaga akan terhindar dari konflik atau benturan kepentingan peran.
3.
Responsibilitas (Responsibility)
yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan lembaga
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang
berlaku, termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial,
perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar
penggajian dan persaingan yang sehat.
4.
Independensi (Independency)
yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5.
Kesetaraan dan kewajaran (Fairness)
yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai perlakuan
yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
2.2. Early Warning System
2.2.1. Defisini
Early Warning System
Early Warning System (EWS)
adalah alat yang dikembangkan untuk tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam
mengenali tanda-tanda awal penurunan kondisi klinis klinis pasien sehingga
dapat menentukan intervensi dini dan pengelolaan pasien seperti meningkatkan
monitoring, asuhan keperawatan, memberikan informasi pada tenaga kesehatan
lain, serta meningkatkan respon cepat/ tim darurat medis (Whittington et al.,
2007). Menurut
National Clinical Guideline (2013), EWS merupakan alat untuk mendeteksi
dini perburukan kondisi pasien dengan mengakategorikan keparahan penyakit dan
mendorong staf keperawatan untuk melakukan tinjauan medis menggunakan alat
komunikasi terstruktur sambil mengikuti rencana yang telah ditetapkan. System
ini digunakan untuk semua pasien yang dirawat di Rumah Sakit ketika melakukan
observasi terhadap TTV untuk mendeteksi perubahan keparahan dan menetapkan
manajemen perawatan yang aman, efektif dalam menangani kondisi pasien tersebut.
Tujuan dari penerapan EWS adalah untuk melakukan
pengawasan terhadap perburukan yang cepat, deteksi dini penurunan kondisi
klinis pasien selama dirawat di Rumah Sakit, dan inisiasi tanggapan klinis yang
cepat dan tepat. Sistem ini menggunakan pendekatan yang sederhana dengan
menggunakan metode yang sistematis untuk mengukur parameter fisiologis
sederhana pada semua pasien untuk mengidentifikasi dini pada pasien yang mengalami perburukan kondisi sertamenggunakan
ketepatan urgensi dan skala respon klinis yang diperlukan dan disesuaikan
dengan beratnya penyakit. Format penilaian system ini dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap status fisiologi menjakup tujuh parameter, yaitu
tingkat kesadaran, respirasi, saturasi oksigen, oksigen tambahan, suhu, denyut
nadi, dan tekanan darah sistolik (National Health Services, 2012).
Sistem ini dilakukan pada semua pasien saat pengkajian
awal dengan kondisi akut dan pemantauan secara berkala pada semua pasien yang
mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi kondisi kritis selama dirawat di
Rumah Sakit. pasien-pasien yang memerlukan pemantauan EWS adalah dengan kondisi
berikut (National Health Services, 2012):
1.
Pasien
yang datang ke Instalasi Gawat Darurat
2.
Pasien
dengan keadaan umum dinilai tidak nyaman (uneasy
feeling)
3.
Keadaan
hemodinamik yang tidak stabil
4.
Pasien
yang akan dipindahkan dari ruang rawat ke ruang rawat lainnya
5.
Pasien
yang akan dipindahkan dari ruang intensif ke ruang rawat biasa
6.
Pasien
dengan penyakit kronis
7.
Perkembangan
penyakit pasien yang tidak menunjukkan perbaikan
8.
Pasien
pasca operasi dalam 24 jam pertama sesuai dengan ketentuan penatalaksanaan pasc
operasi
9.
Pemantauan
rutin pada semua pasien, dan
10. Pasien yang menjalani dialysis yang akan di rawat inap
unutk menentukan ruang perawatan.
2.2.2. Early Warning System di
Area Kritis
Dari beberapa artikel didapatkan hasil bahwa EWS dapat
digunakan pada pasien yang masuk di IGD.
EWS dapat digunakan sebagai alat untuk
memprediksi kematian yang terjadi di IGD, membedakan perawatan yang akan
dilakukan pada pasien (perawatan biasa atau di ruang intensif care), maupun
untuk menskrining pasien yang berisiko mengalami syok septik. Penelitian
yang dilakukan oleh (Smith, Prytherch,
Meredith, Schmidt, & Featherstone, 2013) menyatakan bahwa National
Early Warning Score (NEWS) merupakan alat yang data
digunakan untuk memprediksi pasien yang berisiko mengalami serangan jantung
dini, perawatan di ICU
yang tidak bisa di prediksi, dan memprediksi kematian ynag akan terjadi. Hasil
penelitian selanjutnya dengan tujuan untuk menentukan penggunaan NEWS pada
masien yang masuk IGD sebagai prediksi terhadap outcome pasien. Hal penelitian
menyatakan bahwa terjadinya peningkatan skor NEWS pada saat di IGD berhubungan
dengan kemungkinan perburukan kondisi pada pasien sepsis (Corfield et al., 2014).
Skoring NEWS di IGD dapat menuntukkan risiko terjadi
kematian pasien seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sbiti-Rohr et al.,
2016) menujukkan bahwa angka kematian pada pasien dengan community-acquired
pneumonia ketika 6 tahun
yang di follow up adalah 45,1% dengan skor NEWS yang tinggi. sedangkan ketika
nilai NEWS yang rendah memprediksi mortalitas 30hr-6 tahun, dan untuk
memprediksi pasien dirawat di ICU dengan skor NEWS sedang. Sehingga kesimpulan
dari penelitian tersebut adalah NEWS dapat memberikan informasi mengenai
prognosis penyakit pasien di IGD yakni menentukan pasien masuk di ICU atau
perawatan biasa dan komplikasi, serta dapat menentukan manajemen yang tepat
untuk pasien dengan CAP.
Penelitian prospektif dengan melakukan observasi
terhadap penggunaan NEWS yang diukur sebelum pasien keluar dari ICU untuk
memprediksi perkembangan perburukan klinis dalam 24 jam. Hasil penelitian
menyatakan bahwa terjadinya berburukan klinis awal setelah keluar dari ICU adalah
14,8%. NEWS merupakan alat yang sensitive untuk memprediksi perburukan klinis
awal setelah keluar dari ICU, yakni skor >7 menggambarkan sensitifitas
sebesar 93,6-82,2% dalam memprediksi berburukan klinis awal setelah keluar dari
ICU (Uppanisakorn,
Bhurayanontachai, Boonyarat & Kaewpradit, 2017).
NEWS selain dapat dilakukan di IGD juga dapat
dilakukan di ICU, seperti penelitian yang dilakukan oleh Reini, Fredrikson,
& Oscarsson (2012) dengan mengukur skor MEWS ketika pasien baru tiba di
ruang ICU dan setiap jam selama pasien dapat bernapas dengan spontan sampai
keluar dari ICU. Hasil peneltian menyatakan bahwa pasien dengan skor MEWS ≥ 6
memiliki risiko kematian baik di ICU maupun kematian setelah 30 hari yang lebih
tinggi dibandingkan dengan skor <6, selain itu pasien dengan skor NEWS yang
tinggi juga memengaruhi lama rawat di ICU. Namun, NEWS yang diukur ketika keluar
dari ICU tidak dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan perawatan ulang di
ICU.
Penggunaan MEWS juga dapat dikombinasikan dengan
konsentarsi laktat dalam memprediksi prognosis pasien serta penentuan tingkat
perawatan pasien. Yoo et al., (2015) menyatakan bahwa pasien (sepsis/septik syok) yang
memiliki nilai MEWS dan konsentrasi laktat yang cukup tinggi pada pasien yang
dipindah rawat ke ICU dibandingkan dengan di ruang perawatan biasa. Adanya
penggabungan skor NEWS dengan nilai serum laktat lebih akurat dalam menentukan
perawatan pasien jika hanya dibandingkan dengan melihat skor NEWS saja.
Berdasarkan uraian diatas, early warning scoring merupakan alat yang sangat efektif digunakan
di IGD karena dapat melakukan prediksi terhadap kondisi pasien, menentukan
terhadap perawatan lanjutan pasien
apakah perlu dirawat di ICU maupun di ruang perawatan biasa, serta memprediksi
kematian pasien sehingga dapat menentukan perawatan yang sesuai kondisi pasien.
Sistem ini juga dapat menentukan pengambilan keputusan klinis serta sebagai
komunikasi kepada tenaga kesehatan lain dalam menentukan perawatan pasien
selanjutnya. Penggunaan system ini dapat dikombinasikan dengan melihat serum
laktat untuk memperkuat prediksi terhadap kondisi klinis pasien di IGD.
2.2.3.
Pentingnya
EWS di Emergency
Pasien
yang dirujuk ke unit admisi medis mewakili spektrum yang luas dari keparahan
penyakit. Untuk kepentingan alokasi sumber daya yang tersedia, beberapa sistem
penilaian telah diusulkan sebagai alat triage, termasuk di Instalasi Gawat
Darurat (Brabrand, Folkestad, Clausen, Knudsen, & Hallas,
2010). McClish & Powell (1989) menunjukan bahwa
dalam lingkungan perawatan kritis, dokter menunjukan performa yang lebih baik
dalam menilai kelompok yang memiliki resiko perburukan dengan menggunakan
sistem scoring. Pasien yang mengalami perbaikan dan perburukan sangat mudah
diidentifikasi, dan hal ini lebih baik/akurat dari sekedar pengalaman klinis.
Terlepas dari penilaian resiko pasien, sistem penilaian dapat digunakan dalam
uji klinis untuk menilai tingkat keparahan penyakit pada subjek yang termasuk
dalam uji coba. Pada akhirnya, sistem skoring ini dapat digunakan untuk
memantau pengaruh teknologi baru (Brabrand et al., 2010).
Pengembangan
sistem scoring dimulai di lingkungan
unit perawatan intensif (ICU). Sistem seperti APACHE, MPM, dan SOFA
dikembangkan dan divalidasi di ICU. Kemudian komunitas kedokteran emergency
mengadopsi sistem skoring tersebut untuk diterapkan di IGD. Meskipun sebagian
sistem skoring ini tidak dimaksudkan untuk digunakan pada tingkat individu,
namun terkadang sistem ini sangat bermanfaat digunakan bagi dokter/perawat yang
belum perpengalaman dalam mempresdiksi perburukan pada pasien.
Penelitian
yang dilakukan oleh Considine, Lucas, & Wunderlich (2012) menunjukan bahwa
EWS terstruktur dengan kriteria objektif dan protokol yang sesuai telah
memperlihatkan prediksi perburukan pada pasien sehingga dapat dilakukan
tatalaksana dini, agar pasien terhindar dari perawatan ICU. Penelitian ini
menunjukan alasan yang penting untuk aktivasi dan intervensi yang paling
diperlukan oleh pasien agar terhindar dari perburukan.
Keep et al (2015) juga menemukan
bahwa EWS dapat mengenali gejala septic shock pada pasien severe sepsis di IGD,
sehingga tenaga medis dapat melakukan pengobatan dini agar pasien tidak
terjatuh pada kondisi Septic Shock. Pada 500 pasien yang menjadi partisipan,
Keep menemukan bahwa tingkat sensitivitas dari instrumen EWS yang digunakan
mencapai 92.6%, dan tingkat spesifitasnya sebesar 77%.
EWS
juga sangat penting dalam memprediksi outcome pasien. Alam
et al (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa
NEWS (National Early Warning Score)
merupakan prediktor yang baik pada outcome
pasien. meskipun secara khusus tidak dapat digunakan pada sistem triase, namun
sistem ini sangat membantu untuk memantau pasien secara longitudinal selama
mereka tinggal di IGD dan di rumah sakit. Melalui
penggunaanya, petugas medis dapat membuat indikasi yang lebih tepat apakah
pasien beresiko atau tidak. Dengan ini pula, sistem skoring memungkinkan
petugas medis melakukan intervensi dini untuk menstabilkan pasien sebelum jatuh
ke kondisi perburukan. Selain itu, NEWS juga dapat berfungsi sebagai alat yang
berguna dalam mengelola pasien di lingkungan IGD yang kompleks dan dengan
demikian meningkatkan kualitas perawatan pasien.
2.2.4.
Gambaran
EWS di Negara Lain
Penelitian
mengenai Early Warning System (EWS)
telah banyak dilakukan diberbagai negara terutama di unit gawat darurat. Berbagai
penelitian mengungkapkan bahwa EWS efektif digunakan untuk memprediksi kondisi
pasien, tujuan perawatan berikutnya dan resiko kematian pada pasien. Salah satu parameter pengukuran EWS yaitu menggunakan
parameter fisiologis tubuh pasien meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan,
suhu tubuh, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran. Dalam perjalanannya,
banyak peneliti melakukan pengukuran EWS di berbagai negaranya menggunakan
instrumen-instrumen yang telah mereka susun.
Penelitian
yang dilakukan oleh (Skitch et al., 2018) di Kanada yang
meneliti mengenai Hamilton Early Warning Score di IGD mengatakan bahwa instrumen
ini memiliki komponen yang terbatas untuk mengidentifikasi pasien di ruang
gawat darurat, sehingga masih dibutuhkan penelitian lebih mendalam mengenai
instrumen ini. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Physicians, 2012) di London bahwa
untuk mengidentifikasi kondisi pasien di IGD lebih baik menggunakan triase
daripada EWS karena triase mampu melakukan penilaian terhadap pasien dengan
tepat.
Namun
penelitian yang dilakukan oleh (Alam et al., 2015) mengenai
instrumen The National Early Warning
Score (NEWS) menunjukkan hasil yang berbeda bahwa instrumen ini bisa
digunakan di IGD di wilayah Eropa karena mampu mengidentifikasi kondisi pasien
yang sedang kritis, dapat mengelola pasien di lingkungan gawat darurat dan
meningkatkan kualitas perawatan pasien. Hal ini diperkuat oleh penelitian (Sbiti-Rohr et al., 2016) di Switzerland yang
mengatakan bahwa apabila instrumen NEWS efektif digunakan untuk memprediksi
kondisi klinis dan resiko kematian pada pasien dengan community acquired pneumonia. Mereka juga menambahkan bahwa NEWS
juga menyediakan informasi tambahan berkaitan dengan prognostik yang berkaitan
dengan proses perawatan berikutnya apakah perlu dirawat di ICU atau tidak (Sbiti-Rohr et al., 2016).
Pendapat
yang hampir sama disampaikan oleh (Bilben, Grandal, & Søvik, 2016) bahwa NEWS hanya
efektif digunakan di IGD daerah Norwegia pada kasus-kasus penyakit yang
berkaitan dengan pernapasan. Mereka juga menambahkan bahwa pasien yang datang
ke IGD dengan gangguan pernapasan dapat ditentukan hubungan yang erat antara
NEWS dengan triase dan kebutuhan perawatan pasien di ICU (Bilben et al., 2016).
2.2.5.
Penelitian
EWS di Indonesia
Penjelasan
sebelumnya mengenai gambaran EWS di negara-negara lain mayoritas berfokus pada
penerapan instrumen The National Early
Warning Score (NEWS). Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak
komunitas perawatnya juga melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan
EWS. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Soeharto.S, 2016) mengenai Vitalpac
Early warning scoring (ViEWS) untuk
mendeteksi dini pasien access block
di IGD efektif untuk mendeteksi kondisi tersebut. Selain itu, penelitian EWS
yang berkaitan dengan Pediatric Early
Warning Score (PEWS) juga efektif untuk mengidentifikasi tanda-tanda
perburukan klinis pada anak meskipun perlu menyesuaikan instrumen ini sesuai
dengan kondisi yang ada di Indonesia (Ho, 2016).
Mengingat
pentingnya EWS sebagai salah satu sistem yang harus diterapkan di IGD maka
banyak rumah sakit yang menyusun panduan pelaksanaan EWS di rumah sakit. Salah
satu rumah sakit yang telah menyusun panduan ini adalah RSU Wiradadi Husada
Banyumas. Rumah sakit ini menyusun panduan mengenai beberapa jenis EWS
diantaranya EWS itu sendiri, NEWS, dan PEWS. RS ini juga menjelaskan
instrumen-instrumen yang disertai dengan cara penggunaannya. Selain itu,
penerapan EWS meluas hingga berbagai ruang lingkup diantaranya Instalasi Gawat
Darurat, Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Maternal dan Perinatal (Fauzi, 2017).
BAB III
KAJIAN LAPANGAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Profil
RSUD dr. Iskak Tulungagung
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Iskak Tulungagung
merupakan rumah sakit yang berdiri sejak masa pemerintahan kolonial Belanda
pada tahun 1917, kemudian rumah sakit ini dirintis sebagai pusat layanan
kesehatan masyarakat kabupaten Tulungagung. Pertumbuhan rumah sakit saat ini
berlangsung sangat cepat sehingga mendorong pemerintah Provinsi Jawa Timur
menetapkan sebagai rumah sakit rujukan regional berdasarkan surat keputusan
Gubernur Jawa Timur Nomor 188/359/KPTS/013/2015. Sehingga sejak 18 Mei 2015
RSUD dr. Iskak Tulungagung resmi melayani pasien rujukan dari wilayah Kabupaten
Trenggalek, Kota blitar, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Pacitan.
Selain itu, melalui Surat Keputusan Kementrian
Kesehatan Nomor HK.02.03I1147/2016 menetapkan Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak
Tulungagung sebagai rumah sakit pendidikan. Berdasarkan profil diatas, rumah
sakit ini telah menetapkan visi dan misi yang disesuaikan dengan target capaian
yang akan diraih. “Terwujudkan rumah sakit rujukan yang handal dan terjangkau
dalam pelayanan” merupakan visi dari Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak
Tulungagung, selanjutnya untuk misi rumah sakit, diantaranya sebagai berikut:
1) meningkatkan mutu dan akses pelayanan kesehatan; 2) menyelenggarakan
pendidikan dan penelitian yang bermutu di bidang kesehatan dan kedokteran.
Sebagai rumah sakit rujukan regional dan rumah
sakit pendidikan tentunya rumah sakit umum daerah dr iskak tulungagung
mengemban amanah yang tidaklah mudah, maka dari itu berbagai upaya dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan serta kualitas
pendidikan dan penelitian. Hal ini sesuai dengan moto rumah sakit yaitu
“Kesembuhan, Keselamatan, dan Kenyamanan adalah tujuanku”.
RSUD dr. Iskak dilengkapi dengan berbagai jenis
pelayanan, diantaranya: layanan gawat darurat, layanan rawat jalan, layanan
rawat inap, layanan penunjang, dan layanan intensif (ICU, ICCU, HCU, PICU,
NICU, RICU,dan stroke unit). Area rawat
jalan atau poliklinik terdiri dari 20 layanan yaitu, 1) penyakit dalam; 2)
kesehatan mata; 3) bedah; 4) gigi dan mulut; 5) Kesehatan anak dan tumbang; 6)
kebidanan dan kandungan; 7) KB; 8) GICU; 9) THT; 10) Paru; 11) Jantung &
Pembuluh Darah; 12) Syaraf; 13) Kulit dan Kelamin; 14) Rehabilitasi Medik; 15)
Psikiatri; 16) Konsultasi Gizi; 17) VCT; 18) Poli Eksekutif; 19) estetika; 20)
DOTS+TB-MDR. Selain kelengkapan jenis layanan, rumah sakit ini juga didukung
oleh kelengkapan instalasi penunjang serta kelengkapan sarana yang lain.
3.2 Profil
Pelayanan IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi dan misi
yang telah ditetapkan, Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak Tulungagung menetapkan
pelayanan unggulan, antara lain Instalasi Gawat Darurat Modern (Instagram);
Intagram dan Pelayanan Pre-hospital (Tulungagung Emergency Medical Services); PSC (Public Safety Centre); serta pelayanan Sindrom Koroner Akut (SKA)
dilengkapi dengan kateterisasi jantung.
Penetapan RSUD DR Iskak Tulungagung sebagai rumah sakit rujukan sejak
tahun 2015 mengakibatkan peningkatan jumlah kunjungan pasien ke IGD, berikut
grafik lonjakan jumlah kunjungan periode tahun 2015 sampai 2017. Lonjakan
jumlah kunjungan IGD ini juga dipengaruhi oleh pengaktifan layanan prehospital - TEMS (Tulungagung Emergency Medical Services) serta layanan unggulan lain
yaitu sindroma koroner akut (trombolitik)
+ layanan katerisasi (angiograpy dan
pemasangan ring). Berikut ini ditampilkan grafik kunjungan IGD RSUD dr. Iskak
Tulungagung periode 2015-2017.
Pembahasan pada sub bab ini akan secara
spesifik mendiskusikan managemen pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pelayanan IGD beroperasi selama 24 jam dengan 3 shift dan dokter jaga.
Pelayanan IGD ini mengacu pada standar internasional dan dirancang khusus untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan emergency dengan konsep tata ruang seperti drop zone, triage primer, registration,
dan triage sekunder. Setelah triage dilakukan, selanjutnya pasien akan
ditempatkan ke zona-zona, sesuai dengan prioritas tindakan bedasarkan pemilahan
tingkat kegawat daruratan, antara lain:
1.
Red zone (critical): gawat darurat (respon time 0 menit)
2.
Yellow zone (semi critical): tidak gawat tetapi darurat (respon time
maximal 15 menit)
3.
Green zone (non critical): tidak gawat dan tidak darurat (respon time
maximal 30 menit)
Selain tata ruang yang tersebut, IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung
juga dilengkapi dengan ruang perlengkapan saat kondisi bencana (disaster), ruang dekontaminasi, farmasi,
ruang ROI, kamar operasi emergensi, radiologi, administrasi terpadu, ruang
pertemuan, ruang pelatihan, call center
(EMS), ambulance IGD, dan ruang tunggu.
3.3 Hasil
Kajian Tatakelola Pasien di IGD RSUD dr. Tulungagung
Area emergensi merupakan ruangan yang komplek,
yang berbeda dengan ruangan lainnya, dimana untuk pertama kalinya pasien dengan
penyakit akut banyak dijumpai. Kunjungan pasien yang tidak terjadwal, pasien
yang belum terdiagnosa, dan pasien yang belum terdiferensiasi dari sekian
banyak keragaman penyakit akut ada di IGD. Oleh karena itu baik perawat ataupun
dokter harus mampu menangani beberapa pasien secara simultan, mampu menganalisa
perubahan kondisi untuk membuat prioritas tindakan, serta berespon cepat dan
tepat sesuai dengan kebutuhan pasien, dimana serious clinical adverse events bisa terjadi secara tiba-tiba di
area emergensi.
Hasil wawancara dan observasi telah dilakukan
kepada beberapa perawat ( katim IGD 3
orang) dan 1 dokter di IGD Rumah Sakit dr Iskak Tulungagung, didapatkan data
berupa :
1.
Apa yang Anda ketahui tentang tata kelola klinis ?
|
|
2.
Bagaimana seharusnya tata kelola klinis di tatanan
Instalasi gawat darurat menurut pandangan anda, perlu diterapkan tidak? (sebutkan alasannya!)
|
|
3.
Bagaimana Pelaksanaan tata kelola pelayanan yang
telah berjalan di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung ?
|
Setelah
pasien datang di drop zone,
kemudian triage primer dilakukan sebagai penatalaksanaan/penanganan saat
pasien datang pertama kalinya, selanjutnya ini digunakan sebagai dasar
penetapan prioritas tindakan. Pada hal ini apakah pasien masuk kondisi kritis
(zona merah), kondisi semi kritis (zona kuning), atau kondisi non kritis
(zona hijau). Kemudian pasien dilakukan observasi, kalau didapatkan penurunan
kondisi, akan dilaporkan ke dokter, dan biasanya dilakukan up triage.
Observasi yang dilakukan disini hanya sebatas observasi tanda-tanda
fisiologis.
|
4.
Apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan pasien
IGD khususnya terkait pemantauan klinis
setelah pelaksanaan TRIAGE agar kondisi yang tidak diharapkan tidak terjadi
(misalnya: perburukan kondisi, admisi ICU yang tidak terprediksi,
cardiorespiratory arrest bahkan kematian) ?
|
|
5.
Adakah Sistem Scoring untuk deteksi awal perburukan
kondisi pasien di IGD dan bagaimana implementasinya ?
|
|
6.
Apa yang Anda ketahui tentang hal tersebut (EWS) ?
|
|
7.
Apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaannya ?
|
|
8.
(Menurut pandangan Anda) Apa dampak yang ditimbulkan
baik bagi pasien, keluarga dan tenaga kesehatan itu sendiri bila hal tersebut
tidak dilakukan ?
|
|
3.4 Pembahasan
Kajian Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal IGD
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh bahwa sebagian perawat belum
paham terkait tata kelola klinis. Mereka berpandangan bahwa tata kelola klinis
merupakan bagian dari manajemen pelayanan dengan cara untuk mengelola praktik
asuhan yang baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang optimal. Secara
konseptual tata kelola klinis adalah upaya peningkatan mutu pelayanan dalam
menjamin kualitas pelayanan dengan membangun lingkungan pelayanan klinis yang
baik dalam suatu orgaisasi penyelenggara pelayanan kesehatan (Sale, 2005).
Pelayanan
klinis merupakan core business dari
rumah sakit yang perlu mendapat perhatian khusus terutama yang menyangkut
keselamatan pasien dan profesionalisme dalam pelayanan. Untuk pengembangan
sistem pelayanan klinis dilakukan melalui penerapan good clinical governance. Konsep ini dikembangkan oleh National Health System (NHS) dan diadopsi
di indonesia untuk peningkatan mutu pelayanan klinis di rumah sakit dan
menjamin keselamatan pasien, yang diharapkan menjadi kerangka kerja dalam
meningkatkan mutu pelayanan klinis di rumah sakit.
Standar pelayanan minimal merupakan ketentuan
tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap warga dan
merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal di IGD meliputi
kemampuan menangani lifesaving anak
dan dewasa; jam buka pelayanan gawat darurat; sertifikasi pemberi pelayanan kegawatdaruratan; ketersediaan tim
penanggulangan bencana; Respon time
dokter; kepuasan pelanggan; kematian pasien kurang dari 24 jam; serta jenis
pembiayaan pelayanan di IGD (Putra, Rattu dan Pangoh, 2017).
Hatibie (2015) menjelaskan kepuasan pelanggan
adalah pernyataan tentang persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan.
Factor yang mempengaruhi diantaranya bukti fisik (tangibles), kehandalan (reliability),
daya tangga (responsiveness), jaminan
(assurance) dan perhatian (emphaty). Factor-faktor pada kepuasan
pelanggan ini juga berbading lurus dengan indicator standar pelayanan
minmal IGD lainnya, seperti kematian pasien kurang dari 24 jam di RS yang juga
dipengaruhi oleh berbagai factor. Hasil penelitian Limantara, Herjunianto dan
Roosalina (2015) menjelaskan bahwa factor yang mempengaruhi tingginya kematian
di IGD diantaranya factor pre-hospital,
sumber daya manusia, kinerja monitrong kominte mutu dan optimalisasi SPO
pengelolaan emergency. Hasil analisis
lebih lanjut menunjukan bahwa factor kontributor utama adalah belum optimalnya
standar prosedur oprasional pengelolaan emergency
meskipun response time sudah cukup
optimal.
Kematian
dijadikan salah satu indikator mutu
pelayananan kesehatan yang pening. Tingginya angka kematian di rumah sakit
merupakan pertanda kemungkinan adanya masalah mutu pelayanan yang memerlukan
tindakan perbaikan dan kurang lebih 22,7% kematian yang terjadi sebenarnya
dapat dihindarkan dengan perawaatan yang optimal (Behal dan Finn, 2009).
Pelayanan di IGD merupakan layanan yang bersifat integrative dengan melibatkan
sejumlah tenaga kesehatan secara bersama-sama. Apabila kematian di IGD tinggi
berarti mutu rumah sakit tersebut kurang baik, kepercayaan masyarakat menurun,
pencitraan rumah sakit menurun, menurunkan kunjungan ulang dan pendapatan rumah
sakit hingga maslaah hukum bagi
rumah sakit. Proses untuk menurunkan tingginya angka kematian di IGD bukanlah
proses yang berdiri sendiri, namun merupakan kesatuan tahapan pelayanan pasien
(Limantara, Herjunianto dan Roosalina, 2015).
Tangung jawab rumah sakit dan staf yang
terpenting adalah memberikan asuhan dan pelayanan pasien yang efektif dan aman.
Asuhan dapat berupa upaya pencegahan, paliatif, kuratif, atau rehabilitative
termasuk anastesia, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif atau
kombinasinya yang berdasar assessment dan assessment ulang. Sesuai dengan
Standar Pelayanan dan Asuhan Pasien 3 (PAP-3) dalam Standar Nasional Akreditasi
Rumah Sakit tahun 2017, dijelaskan rumah sakit menetapkan regulasi asuhan
pasien resiko tinggi yang diberikan berdasarkan panduan praktik klinis dan
peraturan perundang-undangan. Pelayanan yang risiko tinggi dilaksanakan pada
pasien kerena tersedia peralatan medis yang kompleks untuk kebutuhan pasien
dengan kondisi darurat yang mengancam jiwa, sifat tindakan, mengatasi potensi
bahaya bagi pasien atau mengatasi intoksikasi obat resiko tinggi. Dalam hal ini
rumah sakit bertanggung jawab untuk melaksanakan regulasi asuhan pasien resiko
tinggi dengan mengidentifikasi rencana tindakan, dokumentasi, keperluan informed consent, monitor pasien, dan kualifikasi khusus staf dalam proses asuhan
serta melengkapi teknologi medis kusus (Komite Akreditasi Rumah Sakit, 2017).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan kepada beberapa perawat dan dokter di IGD Rumah Sakit dr Iskak
Tulungagung sebagai salah satu
unit yang menjalankan manajemen asuhan pasien resiko tinggi terkait pelayanan
klinis didapatkan
data: triage primer dilakukan sebagai penatalaksanaan/penanganan saat pasien
datang pertama kalinya, selanjutnya ini digunakan sebagai dasar penetapan
prioritas tindakan. Pada hal ini apakah pasien masuk kondisi kritis (zona
merah), kondisi semi kritis (zona kuning), atau kondisi non kritis (zona
hijau). Kemudian pasien dilakukan observasi, namun observasi yang dilakukan
disini hanya sebatas observasi tanda-tanda fisiologis, dengan sedikit perhatian
pada longitudinal/ continuous monitoring
(monitoring berkelanjutan) sejak pasien dilakukan observasi pertama kalinya.
Data
wawancara menunjukkan, petugas keseahtan
menyebutkan belum adanya skor spesifik yang dibuat untuk mendeteksi perburukan
kondisi pasien, memprediksi pasien masuk ICU ataupun kematian di area
emergensi. Sehingga demikian, dapat dikatakan pengetahuan dan pelaksanaan
tindakan continuous monitoring oleh
perawat dan dokter di IGD masih lemah. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kondsi ini terletak pada
: 1) risiko terjadinya kejadian admisi ICU yang tidak terprediksi; 2) serious clinical adverse events; 3)
berisiko meningkatnya kematian di IGD.
Spesifik pada Standar PAP 3.1 Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit tahun 2017 menjelasakan bahwa staf klinis dilatih untuk
mendeteksi (mengenali) perubahan kondisi perburukan pasien dan mampu melaksanan
tindakan. Staf yang tidak bekerja didaerah pelayanan intensif mungkin tidak
memiliki pengetahuan dan pelatiahan yang cukup untuk melakukan asesmen seta
mengetahui pasien yang akan masuk dalam kondisi kritis. meskipun demikian
banyak pasien diluar area pelayanan kritis mengalami keadaan kritis. Sebagian
besar pasien yang mengalami gagal jantung atau paru memperlihatkan tanda
fisiologis diluar kisaran normal yang merupakan indikasi perburukan pasien. Hal
ini dapat dinilai dengan penerapan Early
Warning System (EWS) yang membuat staf mempu mengidentifikasi keadaan perburukan apsien sedini-dininya dan
bila perlu mencari bantuan staf yang kompeten, sehingga hasil asuhan akan lebih
baik (Komite Akreditasi Rumah Sakit, 2017).
Alam et al (2015) dalam penelitiannya
menemukan bahwa NEWS (National Early
Warning Score) merupakan prediktor yang baik pada outcome pasien.Sistem
ini sangat membantu untuk memantau pasien secara longitudinal selama mereka tinggal di IGD dan di rumah sakit. Menurut National
Clinical Guideline (2013), EWS merupakan alat untuk mendeteksi dini
perburukan kondisi pasien dengan mengakategorikan keparahan penyakit dan
mendorong staf keperawatan untuk melakukan tinjauan medis menggunakan alat
komunikasi terstruktur sambil mengikuti rencana yang telah ditetapkan.
Parameter pengukuran EWS yaitu menggunakan parameter fisiologis tubuh pasien
meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh, saturasi oksigen dan
tingkat kesadaran. EWS dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi kematian
yang terjadi di IGD, membedakan perawatan yang akan dilakukan pada pasien
(perawatan biasa atau di ruang intensif care), maupun untuk menskrining pasien yang berisiko mengalami syok septik.
Perawat dan dokter yang telah diwawancarai
mengatakan bahwa “sangat sulit menentukan keputusan klinis untuk pasien mana
yang harus up triage, ini disebabkan
karena kondisi IGD yang seringkali over-crowded”;
“banyaknya kewajiban petugas dalam mengisi status pasien yang menyita banyak
waktu”; “terbatasnya jumlah petugas yang
menangani pasien apabila terjadi over-crowded,”;
“ditambah kondisi ruangan yang penuh, membuat pasien dalam konsdisi stagnant di IGD, sehingga beban tugas
dokter dan perawat bertambah berat, setelah triage pertama dilakukan.”
Menurut mereka, tata kelola pasien emergensi
dengan menggunakan early warning score
sebagai tool standar dalam deteksi
dini perburukan kondisi atau identifikasi dini melalui perubahan tanda-tanda
fisiologis dirasa sangat berat dan susah diterapkan di area emergensi. Bahkan
ada yang mengatakan bahwa tool ini
dirasa tidak cocok diterapkan di IGD. Jadi dapat dikatakan bahwa tingkat
pengetahuan mereka baik perawat ataupun dokter terkait managemen pasien
khususnya longitudinal monitoring
atau continuous monitoring
(monitoring berkelanjutan) di IGD masih buruk. Apabila kondisi ini terus
berlanjut tentunya akan berkontribusi pada peningkatan medical error, sehingga pencapaian patient savety akan susah terwujud.
BAB IV
PENUTUP
4.1.Simpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan kepada
beberapa perawat dan dokter di IGD Rumah Sakit dr Iskak Tulungagung, didapatkan
data: triage primer dilakukan sebagai penatalaksanaan/penanganan saat pasien
datang pertama kalinya, selanjutnya ini digunakan sebagai dasar penetapan
prioritas tindakan. Kemudian pasien dilakukan observasi, namun observasi yang
dilakukan disini hanya sebatas observasi tanda-tanda fisiologis, dengan sedikit
perhatian pada longitudinal/ continuous
monitoring (monitoring berkelanjutan) sejak pasien dilakukan observasi
pertama kalinya. Sehingga
demikian, dapat dikatakan pengetahuan dan pelaksanaan tindakan continuous monitoring oleh perawat dan
dokter di IGD masih lemah.
Meskipun demikian,
sebenarnya instrument longitudinal
monitoring yang ditujukan untuk menilai perburukan pasien telah
dikembangkan dan berbagai uji reliabilitas telah dilaksanakan guna
mengoptimalkan pelayanan khususnya salah satu implementasi manajemen asuhan di
IGD. Apabila
kondisi ini terus berlanjut tentunya akan berkontribusi pada peningkatan medical error, sehingga pencapaian patient savety akan susah terwujud.
4.2.Saran
Diharapkan bagi mahasiswa dan perawat umumnya dapat
melaksanakan asuhan keperawatan secara paripurna dengan bekerjasama dengan
multidisiplin lainnya pada kondisi kegawatdarurataan khususnya dalam menerapkan manajemen asuhan (tata
kelola klinis) pada kondisi monitoring berkelanjutan menggunakan system skoring
yang terlah dikembangkan dan dinyatakan valid dalam menilai kondisi perburukan
pasien yaitu Early Warning Score System.
DAFTAR
PUSTAKA
Alam, N., Vegting, I. L., Houben, E., van Berkel, B.,
Vaughan, L., Kramer, M. H. H., & Nanayakkara, P. W. B. (2015). Exploring
the performance of The National Early
Warning Score (NEWS) in a European emergency department. Resuscitation,
90, 111–115. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2015.02.011
Bilben, B., Grandal, L., & Søvik, S. (2016). National
Early Warning Score (NEWS) as an emergency department predictor of disease
severity and 90-day survival in the acutely dyspneic patient - a prospective
observational study. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine, 24(1), 1–8.
https://doi.org/10.1186/s13049-016-0273-9
Behal, R
dan Finn J. (2009). Understanding and improving inpatient mortality in academic
medical centers. Academic medicine: Journal
of the association of Amedican Medical Colleges. 84(12): 1657-1662.
Brabrand, M., Folkestad, L., Clausen, N. G., Knudsen, T.,
& Hallas, J. (2010). Risk scoring systems for adults admitted to the
emergency department: a systematic review. Scand.J.Trauma Resusc.Emerg.Med.,
18, 8--8-. https://doi.org/10.1186/1757-7241-18-8
Chandraharan, E., & Arulkumaran, S. (2007). Clinical
governance. Obstetrics, Gynaecology and Reproductive Medicine, 17(7),
222–224. http://doi.org/10.1016/j.ogrm.2007.05.003
Considine, J., Lucas, E., & Wunderlich, B. (2012). The
uptake of an Early Warning System in
an Australian emergency department: a pilot study. Critical Care and
Resuscitation : Journal of the Australasian Academy of Critical Care Medicine,
14(2), 135–41.
Corfield, A. R., Lees, F., Zealley, I., Houston, G., Dickie,
S., Ward, K., & McGuffie, C. (2014). Utility of a single early warning
score in patients with sepsis in the emergency department. Emergency
Medicine Journal, 31(6), 482–487.
https://doi.org/10.1136/emermed-2012-202186
Fauzi, D. A. (2017). Panduan Pelaksanaan Early Warning System ( Ews ) Rumah Sakit Umum Wiradadi Husada.
Guarracino, F., Cabrini, L., Baldassarri, R., Petronio, S.,
De Carlo, M., Covello, R. D., … Ambrosino, N. (2010). Noninvasive Ventilation
for Awake Percutaneous Aortic Valve Implantation in High-Risk Respiratory
Patients: A Case Series. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia.
https://doi.org/10.1053/j.jvca.2010.06.032
Halligan, a, &
Donaldson, L. (2013). Implementing clinical governance: turning vision into
reality. BMJ (Clinical Research Ed.), 322, 1413–1417. http://doi.org/10.1136/bmj.322.7299.1413
Hatibie,
TWB. (2015). Analisis factor yang berhubungan denan kepuasan pasien di IRJ
bedah RSUP Prof. Dr. R.D. Kandau Manado. Tesis. Program Pascasarjana prodi ilmu
kesehatan masyarakat. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Ho, L. (2016). Pediatric
Early Warning Scores, 18(1), 68–73.
Keep, J., Messmer, a.,
Sladden, R., Burrell, N., Pinate, R., Tunnicliff, M., & Glucksman, E.
(2015). National early warning score at Emergency Department triage may allow
earlier identification of patients with severe sepsis and septic shock: a
retrospective observational study. Emergency Medicine Journal, 33(1),
1–5. https://doi.org/10.1136/emermed-2014-204465
Komite
Akreditasi Rumah Sakit. (2017). Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit. Edisi
1. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indinesia.
Limantara,
R, Herjunianto. dan Roosalina, A. (2015). Factor-faktor yang mempengaruhi
tingginya angka kematian di IGD Rumah Sakit. Jurnal Kedoketeran Brawijaya.
28(2): 200-205.
McClish, D. K., & Powell, S. H. (1989). How Well Can
Physicians Estimate Mortality in a Medical Intensive Care Unit? Medical
Decision Making, 9(2), 125–132.
https://doi.org/10.1177/0272989X8900900207
Physicians, R. C. of. (2012). National Early Warning Score
(NEWS). I Dont Know, (1).
https://doi.org/10.1111/j.1478-5153.2012.00540_3.x
Putra,
IWAP., Rattu, AJM., dan Pongoh, J. (2017). Analisis pelaksanaan standar
pelayanan minimal di instalasi gawat darurat rumah sakit GMIM Kaloran Amurang.
Tesis. Program Pascasarjana podi Ilmu kesehatan masyarakat. Universitas Sam
Ratulangi. Manado.
Reini, K., Fredrikson, M., & Oscarsson, A. (2012). The
prognostic value of the Modified Early Warning Score in critically ill
patients: A prospective, observational study. European Journal of
Anaesthesiology, 29(3), 152–157.
https://doi.org/10.1097/EJA.0b013e32835032d8
Sale, D. (2015). Understanding
clinical governance and quality assurance making it happen. New York: Palgrave
Maemillan.
Sbiti-Rohr, D., Kutz, A., Christ-Crain, M., Thomann, R.,
Zimmerli, W., Hoess, C., … Schuetz, P. (2016). The National Early Warning Score (NEWS) for outcome prediction in
emergency department patients with community-acquired pneumonia: results from a
6-year prospective cohort study. BMJ Open, 6(9), e011021.
https://doi.org/10.1136/bmjopen-2015-011021
Scally, G., & Donaldson, L. J. (1998). Clinical
governance and the drive for quality improvement in the new NHS in England. Bmj,
317(7150), 61–65. http://doi.org/10.1136/bmj.317.7150.61
Skitch, S., Tam, B., Xu, M., McInnis, L., Vu, A., &
Fox-Robichaud, A. (2018). Examining the utility of the Hamilton early warning
scores (HEWS) at triage: Retrospective pilot study in a Canadian emergency
department. Canadian Journal of Emergency Medicine, 20(2),
266–274. https://doi.org/10.1017/cem.2017.21
Smith, G. B., Prytherch, D. R., Meredith, P., Schmidt, P. E.,
& Featherstone, P. I. (2013). The ability of The National Early Warning Score (NEWS) to discriminate patients at
risk of early cardiac arrest, unanticipated intensive care unit admission, and
death. Resuscitation, 84(4), 465–470.
https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2012.12.016
Soeharto.S, F. M. (2016). Vitalpac early warning scoring. J.K.
Mesencephalon, 3(Oktober), 74–79.
Yoo, J. W., Lee, J. R., Jung, Y. K., Choi, S. H., Son, J. S.,
Kang, B. J., … Hong, S. B. (2015). A combination of early warning score and
lactate to predict intensive care unit transfer of inpatients with severe
sepsis/septic shock. Korean Journal of Internal Medicine, 30(4),
471–477. https://doi.org/10.3904/kjim.2015.30.4.471
No comments:
Post a Comment