ANDA PENGUNJUNG KE:

Tuesday, February 5, 2019

Tata Kelola Klinis Manajemen Asuhan Pasien di IGD (Aplikasi Early Warning System)

loading...

TATA KELOLA MANAJEMEN ASUHAN PASIEN DI INSTALASI GAWAT DARURAT
(APLIKASI EARLY WARNING SYSTEM)

KAJIAN LAPANGAN DAN LITERATUR
Diajukan untuk memenuhi tugas individu
mata ajar Tatakelola Klinis


 




Disusun Oleh :
Kelompok II - Peminatan Keperawatan Kritis
Yeni Binteriawati        220120170002
Donny Nurhamsyah    220120170010
Rycco Darmareja        220120170018
Indah Dwi Astuti        220120170019
Roshy Damayanti       220120170032
Yogasliana Fathudin   220120170041
Nuni Apriani               220120170053


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJAJARAN
2018

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan kajian lapangan dan literatur pada matakuliah tata kelola klinis dengan judul “Tata kelola manajemen asuhan pasien di intalasi gawat darurat: Aplikasi Early Warning System”.
Makalah ini tidak lepas dari peran serta dosen mata ajar dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat memberi manfaat walau sekecil apapun untuk semua pihak.

Bandung,    September 2018
Tim Penulis






BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Dalam 10 tahun terakhir ini telah banyak dikembangkan berbagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas (accessibility) dan kesetaraan (equality) masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, yang selanjutnya diikuti pula dengan peningkatan mutu (quality improvement) pelayanan kesehatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir sepatuh dari penduduk dunia belum dapat menikmati kesamaan hak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Selain itu juga disadari bahwa dalam perjalanannya banyak ditemukan upaya-upaya asuhan di klinik yang cenderung berlebihan dan kadang justru membahayakan pasien yang kemudian berdampak pada inefisiensi dan pemborosan.
Dalam era globalisasi yang dicirikan oleh tingginya tingkat kompetisi, kemandirian dan inovasi, pendekatan pelayanan kesehatan menghadapi perubahan yang cukup bermakna. Pelayanan kesehatan yang hanya bertumpu pada ketersediaan jenis pelayanan, aksesibilitas, dan kepuasan pasien akan semakin ditinggalkan orang. Tuntutan terhadap mutu pelayanan menjadi sangat dominan, dan mulai sekarang sudah dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak untuk dipenuhi. Yang perlu disadari adalah bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi salah satu major needs bagi sebagian besar populasi. Hal ini berkaitan erat dengan quality of life, produktivitas, waktu dan kesempatan yang hilang akibat sakit (lost opportunity), dan resiko kecatatan (disability) dan kematian akibat sakit.
Dunia kesehatan terutama rumah sakit dan klinik pada saat ini mau tidak mau dihadapkan pada dua dilema utama. Pertama adalah bagaimana meningkatkan mutu pelayanan kesehatan agar dapat diterima secara luas oleh masyarakat (consumer), dan kedua adalah bagaimana dengan pelayanan yang diberikan dapat diperoleh keuntungan yang memadai. Meskipun di antara keduanya tidak (dianggap) terdapat dikotomisasi, dampak dari dua kepentingan tersebut sangat beragam, antara lain adalah sering diabaikannya kaidah-kaidah terapi yang medically appropriate, evidence-based, dan scientifically acceptable.
Konsep clinical governance diperkenalkan pertama kali melalui suatu publikasi yang berjudul The New NHS: Modern, Dependable, merupakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Inggris pada tahun 1997. Istilah ini selanjutnya diadopsi dan dikembangkan melalui A First Class Service yang merupakan strategi baru bagi NHS, juga diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Inggris. Dimana mendefinisikan tata kelola klinis sebagai sebuah mekanisme baru yang komprehensif untuk memastikan bahwa standar asuhan klinis tetap terjaga melalui system kesehatan dan mutu pelayanan yang selalu ditingkatkan dimana site mini dibuat untuk meningkatkan standar praktik klinis adaapun terdapat tujuh unsur dari tata kelola klinis yaitu : 1). Patient, user and carer involvement; 2). Risk management and patient safety; 3). Clinical audit : quality; 4). Research and effectiveness; 5). Staffing and staf management; 6). Education, training and development; 7). Use of information.
Dari ketujuh unsur tata kelola itu harus berinergi dan saling menunjang tidak bisa di interpensi pada satu unsur saja, yang sering terjadi masalah pada ketujuh unsur tersebut di area kritis adalah kolaborasi maka perlu dibuat sitem pencegahan yang dapat menurunkan error dalam pemberian asuhan, salah satu system yang dapat membantu hal tersebut adalah EWS (Early Warning System scoring) dimana interdisiplin di tuntut harus berprran serta dalam mengahadapi pasien kepada perburukan atau bahkan kematian selain itu EWS juga meningkatkan patient safety dan membantu dalam kualitas audit klinik.
Early Warning System didefinisikan sebagai proses sistemik untuk mengevaluasi dan mengukur resiko awal dalam mengambil langkah-langkah preventif serta meminimalkan dampaknya terhadap sistem pelayanan dan pembiayaan. Sistem peringatan dini di definisikan sebagai prosedur khusus untuk deteksi dini sebelum pemindahan pasien ke ruangan dari keadaan normal, kasus kritis atau reaktor serologis penyakit tertentu. Pelaksanaan Early Warning System di dalam Rumah Sakit digunakan sebagai alat observasi yang efektif untuk pasien dan menjadi kunci penting utama mengidentifikasi perburukan keadaan pasien dan secara efektif memanajemen tindakan yang sesuai untuk pasien. Penggunaan Early Warning System berdampak pada pencegahan perburukan keadaan pasien menjadi keadaan yang kritis, masuk kedalam ruang unit intensif, dan/atau kematian.
EWS didasarkan atas penilaian terhadap perubahan keadaan pasien melalui pengamatan yang sistematis terhadap semua perubahan fisiologi pasien. System ini merupakan konsep pendekatan proaktif untuk meningkatkan keselamatan pasien dan hasil klinis pasien yang lebih baik dengan standarisasi pendekatan asessment dan menetapkan skoring parameter fisiologis yang sederhana dan mengadopsi pendekatan ini dari Royal College of Physicians (National Health Services, 2012).
EWS menggunakan pendekatan sederhana berdasarkan dua persyaratan utama yaitu metode yang sistematis untuk mengukur parameter fisiologis sederhana pada semua paisen untuk memungkinkan identifikasi awal pasien yang mengalami penyakit akut atau kondisi perburukan. Yang kedua yaitu mengenai ketepatan urgensi dan skala respon klinis yang diperlukan dan disesuaikan dengan beratnya penyakit. EWS dapat menurunkan error pada asuhan sehingga meminimalkan dampaknya terhadap sistem pelayanan dan pembiayaan. Hal ini sesuai dengan tujuan tata kelola klinis sehingga dapat di pakai sebagai system standar dalam pelayanan di klinis.

1.2.Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah diharapakan mahasiswa dapat memahami tata kelola klinis dengan tema EWS diarea keperawatan kritis khususnya pada tatanan pelayanan gawat darurat.
2.      Tujuan Khusus
a.       Menjelaskan tentang tata kelola klinis yang berkaitan dengan pengelolaan EWS diarea keperawatan kritis khususnya pada tatanan pelayanan gawat darurat.
b.      Menjelaskan tentang tata kelola ideal sesuai dengan referensi pada tata kelola yang berkaitan dengan EWS diarea keperawatan kritis khususnya pada tatanan pelayanan gawat darurat.
1.3.Manfaat penulisan
Manfaat Penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa program magister keperawatan mengenai salah satu masalah tata kelola klinis dengan tema EWS di area kritis, sehingga nantinya penetahuan ini dapat dijadikan pedoman bagi mahasiswa atau perawat pada umumnya dalam memberikan asuhan keperawatan yang holistik dan optimal serta berdasar pada evidence terutama masalah yang menyakut EWS

1.4.Metode Penulisan
Penulisan makalah dilaksanakan berdasarakan pada hasil pemaknaan dari wawancara dengan pihak terkait mengenai topic dari tata kelola klinis yang berasa di area kritis yaitu EWS dan di bandingkan dengan penelaahan terhadap sumber referensi tekait materi dari sumber elektronik dan text book, penelusuran artikel dilaksanakan pada database seperti Google Scholar, ProQuest, dan Ebscohost dengan kata kuncigood clinical governance” dan “early warning scoring system “. Referensi berasal dari artikel yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia yang selanjutnya dianalisa sehingga dapat menjadi acuan dalam pembuatan makalah.





BAB II
LITERATUR REVIEW

2.1.  Tatakelola Klinis di Rumah Sakit
Sistem tata kelola klinis (good clinical governance) pertama kali dikembangan di Inggris pada tahun 1990an. Tata kelola klinis timbul karena berbagai kenyataan buruk dalam sistem pelayanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Selain itu, sistem tata kelola klinis mundul karena adanya implementasi pendekatan total quality management (TQM) atau continuous quality improvement (CQI) untuk pelayanan kesehatan dengan alasan tidak dapat diterima secara luas karena para staf klinis menilai TQM dan TCQ tersebut terlalu merujuk ke manajemen tanpa identifikasi peran yang jelas untuk para klinisi dalam meningkatan kualitas mutu pelayanan (Halligan & Donaldson, 2013).
     Tata kelola klinis adalah suatu sistem yang menjamin organisasi pemberi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk terus-menerus melakukan perbaikan mutu pelayanan dan menjamin memberikan pelayanan dengan standar yang tinggi dengan menciptakan lingkungan dimana pelayanan prima akan berkembang (Scally & Donaldson, 1998). Penekanan pada tata kelola klinis merujuk pada bagaimana mencapai perawatan pasien yang berkualitas tinggi dan bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan tersebut (Chandraharan & Arulkumaran, 2007).
     Sistem tata kelola klinis bertujuan untuk menciptakan layanan kesehatan modern yang dipimpin oleh pasien yang responsif dan secara konsisten menuju kepada kulaitas pelayanan yang sangat tinggi. Sistem ini merupakan sebuah kerangka atau kerangka kerja yang memungkinkan sebuah organisasi menempatkan sisten dan proses yang akan memastikan keunggulan klinis (Chandraharan & Arulkumaran, 2007).
Baru – baru ini tata kelola klinis telah dianggap sebagai istilah payung yang mencakup beberapa tema dan proses yang bersama-sama memastikan lingkungan di mana keunggulan klinis akan berkembang. Dengan cara yang sederhana, seorang pasien dapat dibayangkan berdiri di bawah payung yang diciptakan oleh interaksi semua tema dan proses. Bersama-sama mereka memastikan keamanan dan kualitas perawatan pasien dan setiap kegagalan atau kekurangan cenderung menyebabkan kebocoran dalam payung yang dapat berdampak buruk terhadap keselamatan atau pengalaman pasien.
Konsep tata kelola klinis telah mengalami transformasi sejak didirikan pada tahun 1998. Awalnya tujuh pilar diidentifikasi mendukung kerangka tata kelola klinis, yang meliputi (Chandraharan & Arulkumaran, 2007):
1.      Pasien dan dan keterlibatan publik, yang mengacu pada keterlibatan pasien dalam keputusan tentang perawatan mereka serta masukan mereka dalam mengembangkan layanan. Sangat penting memberikan informasi kepada pasien dalam bentuk media cetak atau sesuatu yang mudah dimengerti oleh pasien, agar lebih mudah bagi mereka untuk membuat keputusan berdasarkan informasi tentang perawatan mereka. Tenaga medis perlu mendiskusikan berbagai pilihan manajemen dan menghormati keputusan pasien dan menawarkam dukungan dalam setiap pilihan yang mereka ambil
2.      Efektifitas klinis, yang mengacu pada penggunaan pedoman berbasis bukti dalam praktik klinis. Konsep efektifitas klinis dan efektifitas biaya, didukung oleh bukti penelitian yang baik. Efektifitas klinis menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada pasien didasarkan pada bukti dan akan memberikan hasil yang positif. Tata kelola klinis yang berpusat pada efektifitas klinis, merupakan tata kelola yang melibatkan praktik berbasis bukti. Acuan terbaru mengacu pada bukti terbaik yang ada dalam membuat keputusan tentang perawatan pasien individu. Struktur, proses dan hasil harus diaudit dan perubahan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas. Penelitian untuk menemukan strategi manajemen baru yang dapat membantu meningkatkan perawatan pasien harus dikembangkan untuk mendukung perubahan ke arah yang lebih baik.
3.      Audit klinis mengukur apa yang telah dikerjakan dibandingkan dengan standar yang seharusnya dijalankan dan kemudian melakukan perbaikan. Audit klinik merupakan bagian yang penring dari tiap pelayanan kesehatan yang profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Prinsip penting dalam audit kinik meliputi identifikasi dan definisi objek, membuat standar atau tujuan, menilai dan mengukur mutu, identifikasi dan definisi objek, membuat standar atau tujuan, menilai dan mengukur mutu, identifikasi perubahan yang diperlukan, implementasi perubahan, monitoring efek perubahan. Tujuan utama dari audit adalah untuk efek positif pada mutu pelayanan dan efektifitas pelayanan pada pasien.
4.      Manajemen resiko yang mengacu pada budaya, proses dan struktur yang diarahkan untuk mewujudkan peluang potensial sambil mengelola kejadian tidak diharapkan. Hal ini melibatkan resiko, analiss dan evaluasi resiko, perlakuan resiko dan pengendalian resiko yang melibatkan berbagi dan belajar dari insiden resiko buruk. Seluruh staf harus belajar dari indsiden buruk yang pernah terjadi atau resiko yang mungkin terjadi untuk mengurangi kemungkinan terulang kembali. Manajemen resiko klinis mempunyai tiga komponen utama, yaitu identifikasi resiko, analisa resiko dan pengawasan reiko. Pendekatan sistemik manajemen resiko meliputi pelaporan kejadian tidak diharapkan (KTD), analisa kejadian, audit kejadian, dan analisa akar penyebab.
5.      Manajemen kepegawaian dan staf merupakan bagian integral dari tata kelola klinis. Dimulai dari rekrutmen pegawai yang mencerminkan aktivitas klinis (baik saat ini dan yang diproyeksikan) dan menyediakan mix skill yang diperlukan untuk memastikan kualitas tertinggi perawatan pasien. program induksi staf harus kuat dan komperhensif. Retensi staf dapat ditingkatkan dengan kerja yang fleksibel, pembagian kerja dan meningkatkan kepuasan kerja. Staf yang dirawat dengan baik dan termotivasi cenderung memiliki kinerja yang lebih baik.
6.      Pelatihan, pendidikan dan pendidikan profesional berkelanjutan. Pengetahuan medis berubah dan berkembang dengan sangat pesat, diantaranya melibatkan perubahan paradigma dalam praktik. Ini mengharuskan staf untuk terus memperbarui diri dan melengkapi diri dengan pengerahuan terbaru untuk memberikan perawatan pasien yang aman dan tepat. Pengembangan profesional yang berkelanjutan harus menjadi tanggung jawab praktisi individu budaya yang harus dipromosikan. Kepercayaan memiliki tanggung jawab untuk mendukung staf dalam hal ini karena memiliki implikasi untuk kualitas perawatan pasien. Pelatihan mengenai penanganan penyakit-penyakit terbaru perlu diadakan untuk meningkatkan hasil klinis dan mengurangi komplikasi serta hasil yang merugikan.
7.      Penggunaan informasi untuk meningkatkan perawatan pasien mencakup manajemen yang efisien dan tepat dalam catatan kesehatan (rekam medis) dan informasi perawatan pasien. Penting untuk memastikan bahwa rekam medis pasien tersedia di setiap kedatangannya, serta harus dihindari penggunaan catatan sementara mengenai informasi kesehatan pasien karena dapat berkontribusi pada resiko terjadinya insiden.
Pilar-pilar tersebut didirikan di atas 5 landasan, yaitu sistem kesadaran (system awareness), kepemimpinan, kepemilikan, kerja tim dan komunikasi. Untuk menerapkan tata kelola klinis dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit memerlukan kerja sama antar klinisi dan manajer. Keduanya bertanggung jawan atas kualitas pelayanan klinik. Tata kelola klinis harus diakui sebagai bagian terintegrasi dari manajemen dan praktik klinis yang baik serta harus dijadikan bagian dari budaya organisasi. Agar efektif, tata kelola klinis harus diintegrasikan ke dalam budaya organisasi, parkit dan rencana bisnis tidak hanya sebagai proyek atau program terpisah.
Pelayanan klinis merupakan core business dari rumah sakit yang perlu mendapat perhatian khusus terutama yang menyangkut keselamatan pasien dan profesionalisme dalam pelayanan. Untuk pengembangan sistem pelayanan klinis dilakukan melalui penerapan good clinical governance. Konsep ini dikembangkan oleh National Health System (NHS) dan diadopsi di indonesia untuk peningkatan mutu pelayanan klinis di rumah sakit dan menjamin keselamatan pasien, yang diharapkan menjadi kerangka kerja dalam meningkatkan mutu pelayanan klinis di rumah sakit.
Adapun tujuan akhir diterapkannya good clinical governance adalah untuk menjada agar pelayanan kesehatan dapat terselenggara dengan baik berdasarkan standar pelayanan yang tinggi serta dilakukan pada lingkungan kerja yang memiliki tingkat profesionalisme tinggi. Dengan demikian, pada akhirnya akan mendukung upaya mewujudkan peningkatan derajat kesehatan melalui upaya klinis yang maksimal dengan cost efective yang maksimal.
Secara umum,ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good clinical governance menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut  adalah transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kesetaraan/  kewajaran. Namun dalam Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan hanya empat prinsip yang pertama. Secara lebih rinci prinsip - prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1.      Transparansi (Transparancy) yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses  pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan  relevan mengenai perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip  transparansi ini adalah terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest ) berbagai pihak dalam manajemen. 
2.      Akuntabilitas ( Accountability) yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat  terlaksana dengan baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan  terhindar dari konflik atau benturan kepentingan peran.
3.      Responsibilitas (Responsibility) yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam  pengelolaan lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan  perundangan yang berlaku, termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak,  hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan  kerja, standar penggajian dan persaingan yang sehat.
4.      Independensi (Independency) yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola  secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak  manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5.      Kesetaraan dan kewajaran (Fairness) yang secara sederhana dapat didefinisikan  sebagai perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder  yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. 
2.2.  Early Warning System
2.2.1.      Defisini Early Warning System
Early Warning System (EWS) adalah alat yang dikembangkan untuk tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam mengenali tanda-tanda awal penurunan kondisi klinis klinis pasien sehingga dapat menentukan intervensi dini dan pengelolaan pasien seperti meningkatkan monitoring, asuhan keperawatan, memberikan informasi pada tenaga kesehatan lain, serta meningkatkan respon cepat/ tim darurat medis (Whittington et al., 2007). Menurut   National Clinical Guideline (2013), EWS merupakan alat untuk mendeteksi dini perburukan kondisi pasien dengan mengakategorikan keparahan penyakit dan mendorong staf keperawatan untuk melakukan tinjauan medis menggunakan alat komunikasi terstruktur sambil mengikuti rencana yang telah ditetapkan. System ini digunakan untuk semua pasien yang dirawat di Rumah Sakit ketika melakukan observasi terhadap TTV untuk mendeteksi perubahan keparahan dan menetapkan manajemen perawatan yang aman, efektif dalam menangani kondisi pasien tersebut.
Tujuan dari penerapan EWS adalah untuk melakukan pengawasan terhadap perburukan yang cepat, deteksi dini penurunan kondisi klinis pasien selama dirawat di Rumah Sakit, dan inisiasi tanggapan klinis yang cepat dan tepat. Sistem ini menggunakan pendekatan yang sederhana dengan menggunakan metode yang sistematis untuk mengukur parameter fisiologis sederhana pada semua pasien untuk mengidentifikasi dini pada pasien yang  mengalami perburukan kondisi sertamenggunakan ketepatan urgensi dan skala respon klinis yang diperlukan dan disesuaikan dengan beratnya penyakit. Format penilaian system ini dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap status fisiologi menjakup tujuh parameter, yaitu tingkat kesadaran, respirasi, saturasi oksigen, oksigen tambahan, suhu, denyut nadi, dan tekanan darah sistolik (National Health Services, 2012).
Sistem ini dilakukan pada semua pasien saat pengkajian awal dengan kondisi akut dan pemantauan secara berkala pada semua pasien yang mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi kondisi kritis selama dirawat di Rumah Sakit. pasien-pasien yang memerlukan pemantauan EWS adalah dengan kondisi berikut (National Health Services, 2012):
1.      Pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat
2.      Pasien dengan keadaan umum dinilai tidak nyaman (uneasy feeling)
3.      Keadaan hemodinamik yang tidak stabil
4.      Pasien yang akan dipindahkan dari ruang rawat ke ruang rawat lainnya
5.      Pasien yang akan dipindahkan dari ruang intensif ke ruang rawat biasa
6.      Pasien dengan penyakit kronis
7.      Perkembangan penyakit pasien yang tidak menunjukkan perbaikan
8.      Pasien pasca operasi dalam 24 jam pertama sesuai dengan ketentuan penatalaksanaan pasc operasi
9.      Pemantauan rutin pada semua pasien, dan
10.  Pasien yang menjalani dialysis yang akan di rawat inap unutk menentukan ruang perawatan.

2.2.2.      Early Warning System di Area Kritis
Dari beberapa artikel didapatkan hasil bahwa EWS dapat digunakan pada pasien yang masuk di IGD.  EWS dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi kematian yang terjadi di IGD, membedakan perawatan yang akan dilakukan pada pasien (perawatan biasa atau di ruang intensif care), maupun untuk menskrining pasien yang berisiko mengalami syok septik. Penelitian yang dilakukan oleh (Smith, Prytherch, Meredith, Schmidt, & Featherstone, 2013) menyatakan bahwa National Early Warning Score (NEWS)  merupakan alat yang data digunakan untuk memprediksi pasien yang berisiko mengalami serangan jantung dini, perawatan di ICU yang tidak bisa di prediksi, dan memprediksi kematian ynag akan terjadi. Hasil penelitian selanjutnya dengan tujuan untuk menentukan penggunaan NEWS pada masien yang masuk IGD sebagai prediksi terhadap outcome pasien. Hal penelitian menyatakan bahwa terjadinya peningkatan skor NEWS pada saat di IGD berhubungan dengan kemungkinan perburukan kondisi pada pasien sepsis (Corfield et al., 2014).
Skoring NEWS di IGD dapat menuntukkan risiko terjadi kematian pasien seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sbiti-Rohr et al., 2016) menujukkan bahwa angka kematian pada pasien dengan community-acquired pneumonia ketika 6 tahun yang di follow up adalah 45,1% dengan skor NEWS yang tinggi. sedangkan ketika nilai NEWS yang rendah memprediksi mortalitas 30hr-6 tahun, dan untuk memprediksi pasien dirawat di ICU dengan skor NEWS sedang. Sehingga kesimpulan dari penelitian tersebut adalah NEWS dapat memberikan informasi mengenai prognosis penyakit pasien di IGD yakni menentukan pasien masuk di ICU atau perawatan biasa dan komplikasi, serta dapat menentukan manajemen yang tepat untuk pasien dengan CAP.
Penelitian prospektif dengan melakukan observasi terhadap penggunaan NEWS yang diukur sebelum pasien keluar dari ICU untuk memprediksi perkembangan perburukan klinis dalam 24 jam. Hasil penelitian menyatakan bahwa terjadinya berburukan klinis awal setelah keluar dari ICU adalah 14,8%. NEWS merupakan alat yang sensitive untuk memprediksi perburukan klinis awal setelah keluar dari ICU, yakni skor >7 menggambarkan sensitifitas sebesar 93,6-82,2% dalam memprediksi berburukan klinis awal setelah keluar dari ICU (Uppanisakorn, Bhurayanontachai, Boonyarat & Kaewpradit, 2017).
NEWS selain dapat dilakukan di IGD juga dapat dilakukan di ICU, seperti penelitian yang dilakukan oleh Reini, Fredrikson, & Oscarsson (2012) dengan mengukur skor MEWS ketika pasien baru tiba di ruang ICU dan setiap jam selama pasien dapat bernapas dengan spontan sampai keluar dari ICU. Hasil peneltian menyatakan bahwa pasien dengan skor MEWS ≥ 6 memiliki risiko kematian baik di ICU maupun kematian setelah 30 hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan skor <6, selain itu pasien dengan skor NEWS yang tinggi juga memengaruhi lama rawat di ICU. Namun, NEWS yang diukur ketika keluar dari ICU tidak dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan perawatan ulang di ICU.
Penggunaan MEWS juga dapat dikombinasikan dengan konsentarsi laktat dalam memprediksi prognosis pasien serta penentuan tingkat perawatan pasien. Yoo et al., (2015) menyatakan bahwa pasien (sepsis/septik syok) yang memiliki nilai MEWS dan konsentrasi laktat yang cukup tinggi pada pasien yang dipindah rawat ke ICU dibandingkan dengan di ruang perawatan biasa. Adanya penggabungan skor NEWS dengan nilai serum laktat lebih akurat dalam menentukan perawatan pasien jika hanya dibandingkan dengan melihat skor NEWS saja.
Berdasarkan uraian diatas, early warning scoring merupakan alat yang sangat efektif digunakan di IGD karena dapat melakukan prediksi terhadap kondisi pasien, menentukan terhadap  perawatan lanjutan pasien apakah perlu dirawat di ICU maupun di ruang perawatan biasa, serta memprediksi kematian pasien sehingga dapat menentukan perawatan yang sesuai kondisi pasien. Sistem ini juga dapat menentukan pengambilan keputusan klinis serta sebagai komunikasi kepada tenaga kesehatan lain dalam menentukan perawatan pasien selanjutnya. Penggunaan system ini dapat dikombinasikan dengan melihat serum laktat untuk memperkuat prediksi terhadap kondisi klinis pasien di IGD.

2.2.3.      Pentingnya EWS di Emergency
Pasien yang dirujuk ke unit admisi medis mewakili spektrum yang luas dari keparahan penyakit. Untuk kepentingan alokasi sumber daya yang tersedia, beberapa sistem penilaian telah diusulkan sebagai alat triage, termasuk di Instalasi Gawat Darurat (Brabrand, Folkestad, Clausen, Knudsen, & Hallas, 2010). McClish & Powell (1989) menunjukan bahwa dalam lingkungan perawatan kritis, dokter menunjukan performa yang lebih baik dalam menilai kelompok yang memiliki resiko perburukan dengan menggunakan sistem scoring. Pasien yang mengalami perbaikan dan perburukan sangat mudah diidentifikasi, dan hal ini lebih baik/akurat dari sekedar pengalaman klinis. Terlepas dari penilaian resiko pasien, sistem penilaian dapat digunakan dalam uji klinis untuk menilai tingkat keparahan penyakit pada subjek yang termasuk dalam uji coba. Pada akhirnya, sistem skoring ini dapat digunakan untuk memantau pengaruh teknologi baru (Brabrand et al., 2010).
Pengembangan sistem scoring dimulai di lingkungan unit perawatan intensif (ICU). Sistem seperti APACHE, MPM, dan SOFA dikembangkan dan divalidasi di ICU. Kemudian komunitas kedokteran emergency mengadopsi sistem skoring tersebut untuk diterapkan di IGD. Meskipun sebagian sistem skoring ini tidak dimaksudkan untuk digunakan pada tingkat individu, namun terkadang sistem ini sangat bermanfaat digunakan bagi dokter/perawat yang belum perpengalaman dalam mempresdiksi perburukan pada pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Considine, Lucas, & Wunderlich (2012) menunjukan bahwa EWS terstruktur dengan kriteria objektif dan protokol yang sesuai telah memperlihatkan prediksi perburukan pada pasien sehingga dapat dilakukan tatalaksana dini, agar pasien terhindar dari perawatan ICU. Penelitian ini menunjukan alasan yang penting untuk aktivasi dan intervensi yang paling diperlukan oleh pasien agar terhindar dari perburukan.
Keep et al (2015) juga menemukan bahwa EWS dapat mengenali gejala septic shock pada pasien severe sepsis di IGD, sehingga tenaga medis dapat melakukan pengobatan dini agar pasien tidak terjatuh pada kondisi Septic Shock. Pada 500 pasien yang menjadi partisipan, Keep menemukan bahwa tingkat sensitivitas dari instrumen EWS yang digunakan mencapai 92.6%, dan tingkat spesifitasnya sebesar 77%.
EWS juga sangat penting dalam memprediksi outcome pasien. Alam et al (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa NEWS (National Early Warning Score) merupakan prediktor yang baik pada outcome pasien. meskipun secara khusus tidak dapat digunakan pada sistem triase, namun sistem ini sangat membantu untuk memantau pasien secara longitudinal selama mereka tinggal di IGD dan di rumah sakit. Melalui penggunaanya, petugas medis dapat membuat indikasi yang lebih tepat apakah pasien beresiko atau tidak. Dengan ini pula, sistem skoring memungkinkan petugas medis melakukan intervensi dini untuk menstabilkan pasien sebelum jatuh ke kondisi perburukan. Selain itu, NEWS juga dapat berfungsi sebagai alat yang berguna dalam mengelola pasien di lingkungan IGD yang kompleks dan dengan demikian meningkatkan kualitas perawatan pasien.

2.2.4.      Gambaran EWS di Negara Lain
Penelitian mengenai Early Warning System (EWS) telah banyak dilakukan diberbagai negara terutama di unit gawat darurat. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa EWS efektif digunakan untuk memprediksi kondisi pasien, tujuan perawatan berikutnya dan resiko kematian pada pasien. Salah satu parameter pengukuran EWS yaitu menggunakan parameter fisiologis tubuh pasien meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran. Dalam perjalanannya, banyak peneliti melakukan pengukuran EWS di berbagai negaranya menggunakan instrumen-instrumen yang telah mereka susun.
Penelitian yang dilakukan oleh (Skitch et al., 2018) di Kanada yang meneliti mengenai Hamilton Early Warning Score di IGD mengatakan bahwa instrumen ini memiliki komponen yang terbatas untuk mengidentifikasi pasien di ruang gawat darurat, sehingga masih dibutuhkan penelitian lebih mendalam mengenai instrumen ini. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Physicians, 2012) di London bahwa untuk mengidentifikasi kondisi pasien di IGD lebih baik menggunakan triase daripada EWS karena triase mampu melakukan penilaian terhadap pasien dengan tepat.
Namun penelitian yang dilakukan oleh (Alam et al., 2015) mengenai instrumen The National Early Warning Score (NEWS) menunjukkan hasil yang berbeda bahwa instrumen ini bisa digunakan di IGD di wilayah Eropa karena mampu mengidentifikasi kondisi pasien yang sedang kritis, dapat mengelola pasien di lingkungan gawat darurat dan meningkatkan kualitas perawatan pasien. Hal ini diperkuat oleh penelitian (Sbiti-Rohr et al., 2016) di Switzerland yang mengatakan bahwa apabila instrumen NEWS efektif digunakan untuk memprediksi kondisi klinis dan resiko kematian pada pasien dengan community acquired pneumonia. Mereka juga menambahkan bahwa NEWS juga menyediakan informasi tambahan berkaitan dengan prognostik yang berkaitan dengan proses perawatan berikutnya apakah perlu dirawat di ICU atau tidak (Sbiti-Rohr et al., 2016).
Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh (Bilben, Grandal, & Søvik, 2016) bahwa NEWS hanya efektif digunakan di IGD daerah Norwegia pada kasus-kasus penyakit yang berkaitan dengan pernapasan. Mereka juga menambahkan bahwa pasien yang datang ke IGD dengan gangguan pernapasan dapat ditentukan hubungan yang erat antara NEWS dengan triase dan kebutuhan perawatan pasien di ICU (Bilben et al., 2016).

2.2.5.      Penelitian EWS di Indonesia
Penjelasan sebelumnya mengenai gambaran EWS di negara-negara lain mayoritas berfokus pada penerapan instrumen The National Early Warning Score (NEWS). Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak komunitas perawatnya juga melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan EWS. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Soeharto.S, 2016) mengenai Vitalpac Early warning scoring (ViEWS) untuk mendeteksi dini pasien access block di IGD efektif untuk mendeteksi kondisi tersebut. Selain itu, penelitian EWS yang berkaitan dengan Pediatric Early Warning Score (PEWS) juga efektif untuk mengidentifikasi tanda-tanda perburukan klinis pada anak meskipun perlu menyesuaikan instrumen ini sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia (Ho, 2016).
Mengingat pentingnya EWS sebagai salah satu sistem yang harus diterapkan di IGD maka banyak rumah sakit yang menyusun panduan pelaksanaan EWS di rumah sakit. Salah satu rumah sakit yang telah menyusun panduan ini adalah RSU Wiradadi Husada Banyumas. Rumah sakit ini menyusun panduan mengenai beberapa jenis EWS diantaranya EWS itu sendiri, NEWS, dan PEWS. RS ini juga menjelaskan instrumen-instrumen yang disertai dengan cara penggunaannya. Selain itu, penerapan EWS meluas hingga berbagai ruang lingkup diantaranya Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Maternal dan Perinatal (Fauzi, 2017).

BAB III
KAJIAN LAPANGAN DAN PEMBAHASAN

3.1  Profil RSUD dr. Iskak Tulungagung
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Iskak Tulungagung merupakan rumah sakit yang berdiri sejak masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1917, kemudian rumah sakit ini dirintis sebagai pusat layanan kesehatan masyarakat kabupaten Tulungagung. Pertumbuhan rumah sakit saat ini berlangsung sangat cepat sehingga mendorong pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan sebagai rumah sakit rujukan regional berdasarkan surat keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/359/KPTS/013/2015. Sehingga sejak 18 Mei 2015 RSUD dr. Iskak Tulungagung resmi melayani pasien rujukan dari wilayah Kabupaten Trenggalek, Kota blitar, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Pacitan.
Selain itu, melalui Surat Keputusan Kementrian Kesehatan Nomor HK.02.03I1147/2016 menetapkan Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak Tulungagung sebagai rumah sakit pendidikan. Berdasarkan profil diatas, rumah sakit ini telah menetapkan visi dan misi yang disesuaikan dengan target capaian yang akan diraih. “Terwujudkan rumah sakit rujukan yang handal dan terjangkau dalam pelayanan” merupakan visi dari Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak Tulungagung, selanjutnya untuk misi rumah sakit, diantaranya sebagai berikut: 1) meningkatkan mutu dan akses pelayanan kesehatan; 2) menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang bermutu di bidang kesehatan dan kedokteran.
Sebagai rumah sakit rujukan regional dan rumah sakit pendidikan tentunya rumah sakit umum daerah dr iskak tulungagung mengemban amanah yang tidaklah mudah, maka dari itu berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan serta kualitas pendidikan dan penelitian. Hal ini sesuai dengan moto rumah sakit yaitu “Kesembuhan, Keselamatan, dan Kenyamanan adalah tujuanku”.
RSUD dr. Iskak dilengkapi dengan berbagai jenis pelayanan, diantaranya: layanan gawat darurat, layanan rawat jalan, layanan rawat inap, layanan penunjang, dan layanan intensif (ICU, ICCU, HCU, PICU, NICU, RICU,dan stroke unit).  Area rawat jalan atau poliklinik terdiri dari 20 layanan yaitu, 1) penyakit dalam; 2) kesehatan mata; 3) bedah; 4) gigi dan mulut; 5) Kesehatan anak dan tumbang; 6) kebidanan dan kandungan; 7) KB; 8) GICU; 9) THT; 10) Paru; 11) Jantung & Pembuluh Darah; 12) Syaraf; 13) Kulit dan Kelamin; 14) Rehabilitasi Medik; 15) Psikiatri; 16) Konsultasi Gizi; 17) VCT; 18) Poli Eksekutif; 19) estetika; 20) DOTS+TB-MDR. Selain kelengkapan jenis layanan, rumah sakit ini juga didukung oleh kelengkapan instalasi penunjang serta kelengkapan sarana yang lain.

3.2  Profil Pelayanan IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak Tulungagung menetapkan pelayanan unggulan, antara lain Instalasi Gawat Darurat Modern (Instagram); Intagram dan Pelayanan Pre-hospital (Tulungagung Emergency Medical Services); PSC (Public Safety Centre); serta pelayanan Sindrom Koroner Akut (SKA) dilengkapi dengan kateterisasi jantung.
Penetapan RSUD DR Iskak  Tulungagung sebagai rumah sakit rujukan sejak tahun 2015 mengakibatkan peningkatan jumlah kunjungan pasien ke IGD, berikut grafik lonjakan jumlah kunjungan periode tahun 2015 sampai 2017. Lonjakan jumlah kunjungan IGD ini juga dipengaruhi oleh pengaktifan layanan prehospital - TEMS (Tulungagung Emergency Medical Services) serta layanan unggulan lain yaitu sindroma koroner akut  (trombolitik) + layanan katerisasi (angiograpy dan pemasangan ring). Berikut ini ditampilkan grafik kunjungan IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung periode 2015-2017.
Pembahasan pada sub bab ini akan secara spesifik mendiskusikan managemen pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pelayanan IGD beroperasi selama 24 jam dengan 3 shift dan dokter jaga. Pelayanan IGD ini mengacu pada standar internasional dan dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan emergency dengan konsep tata ruang seperti drop zone, triage primer, registration, dan triage sekunder. Setelah triage dilakukan, selanjutnya pasien akan ditempatkan ke zona-zona, sesuai dengan prioritas tindakan bedasarkan pemilahan tingkat kegawat daruratan, antara lain:
1.      Red zone (critical): gawat darurat (respon time 0 menit) 
2.      Yellow zone (semi critical): tidak gawat tetapi darurat (respon time maximal 15 menit)
3.      Green zone (non critical): tidak gawat dan tidak darurat (respon time maximal 30 menit)
Selain tata ruang yang tersebut, IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung juga dilengkapi dengan ruang perlengkapan saat kondisi bencana (disaster), ruang dekontaminasi, farmasi, ruang ROI, kamar operasi emergensi, radiologi, administrasi terpadu, ruang pertemuan, ruang pelatihan, call center (EMS), ambulance IGD, dan ruang tunggu.

3.3  Hasil Kajian Tatakelola Pasien di IGD RSUD dr. Tulungagung
Area emergensi merupakan ruangan yang komplek, yang berbeda dengan ruangan lainnya, dimana untuk pertama kalinya pasien dengan penyakit akut banyak dijumpai. Kunjungan pasien yang tidak terjadwal, pasien yang belum terdiagnosa, dan pasien yang belum terdiferensiasi dari sekian banyak keragaman penyakit akut ada di IGD. Oleh karena itu baik perawat ataupun dokter harus mampu menangani beberapa pasien secara simultan, mampu menganalisa perubahan kondisi untuk membuat prioritas tindakan, serta berespon cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan pasien, dimana serious clinical adverse events bisa terjadi secara tiba-tiba di area emergensi.
Hasil wawancara dan observasi telah dilakukan kepada beberapa perawat  ( katim IGD 3 orang) dan 1 dokter di IGD Rumah Sakit dr Iskak Tulungagung, didapatkan data berupa :



1.       Apa yang Anda ketahui tentang tata kelola klinis ?

  1. mungkin cara untuk mengelola praktik asuhan yang baik
  2. sejujurnya saya belum paham, bisa jadi merupakan managemen di pelayanan
  3. suatu langkah untuk membuat pengelolaan di klinis supaya kualitas pelayanan optimal
  4. managemen pengelolaan tentang bagaimana pelayanan bisa berjalan baik, dengan outcome kualitas pelayanan yang bagus


2.       Bagaimana seharusnya tata kelola klinis di tatanan Instalasi gawat darurat menurut pandangan anda, perlu diterapkan tidak? (sebutkan alasannya!)

  1. Perlu, supaya pelayanan berjalan lancar meminimalisir overcrowded
  2. Perlu, meningkatkan patient savety
  3. Perlu, supaya mortalitas dan morbiditas bisa di cegah
  4. Perlu, untuk menurunkan beban kerja perawat, kualitas pelayanan optimal, sehingga kepuasan pasien dan keluarga dapat dipenuhi


3.       Bagaimana Pelaksanaan tata kelola pelayanan yang telah berjalan di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung ?

Setelah pasien datang di drop zone, kemudian triage primer dilakukan sebagai penatalaksanaan/penanganan saat pasien datang pertama kalinya, selanjutnya ini digunakan sebagai dasar penetapan prioritas tindakan. Pada hal ini apakah pasien masuk kondisi kritis (zona merah), kondisi semi kritis (zona kuning), atau kondisi non kritis (zona hijau). Kemudian pasien dilakukan observasi, kalau didapatkan penurunan kondisi, akan dilaporkan ke dokter, dan biasanya dilakukan up triage. Observasi yang dilakukan disini hanya sebatas observasi tanda-tanda fisiologis.


4.       Apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan pasien IGD khususnya terkait pemantauan klinis  setelah pelaksanaan TRIAGE agar kondisi yang tidak diharapkan tidak terjadi (misalnya: perburukan kondisi, admisi ICU yang tidak terprediksi, cardiorespiratory arrest bahkan kematian) ?

  1. Ya dilakukan observasi, bila pasien penuh, maka akan akan terkendala dalam melakukan observasi berkala karena beban tanggung jawab 1 perawat akan bertambah
  2. Observasi terhadap tanda-tanda vital yang ada dan melaksanakan pemeriksaan penunjang
  3. Pemantauan TTV, tingkat kesadaran, beserta hasil pemeriksaan penunjang yang lain
  4. Observasi kondisi melalui TTV, tingkat kesadaran, saturasi, produksi urine, dan pemeriksaan penunjang, apabila kondisi memburuk yang dikonsul ke dokter penanggungjawab atau dokter spesialis emergensi, terkait tindakan selanjutnya, apakah perlu up-triage, atau pindah ke ICU, atau perlu resusitasi, atau pindah ke OK emergensi















5.       Adakah Sistem Scoring untuk deteksi awal perburukan kondisi pasien di IGD dan bagaimana implementasinya ?

  1. Untuk di IGD belum dilaksanakan
  2. Ada di rawat inap, tapi di IGD belum
  3. Di igd tidak diterapkan
  4. Ada, tapi untuk di igd belum dilakukan


6.       Apa yang Anda ketahui tentang hal tersebut (EWS) ?
  1. Suatu skor untuk mengetahui kalau pasien kondisi memburuk
  2. sistem skor yang diambil dari penjumlahan parameter kondisi klinis yaitu TTV,dari sana dapat diketahui/ diprediksi kondisinya
  3. suatu alat untuk deteksi dini penurunan kondisi pasien
  4. scoring untuk identifikasi awal dari perburukan kondisi, agar cardiopulmonary arrest dapat dicegah

7.       Apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaannya ?

  1. Sangat sulit menentukan keputusan klinis untuk pasien mana yang harus up-triage,
  2. Banyaknya kewajiban petugas dalam mengisi status pasien yang menyita banyak waktu, dan kondisi IGD seringkali Over-crowded,
  3. Terbatasnya jumlah petugas yang menangani pasien, terlebih saat terjadi over-corowded, dan kalaupun nanti diterapkan akan membebani perawat karena aka nada pengisian lembar observasi dan ada pengisian EWS
  4. Kondisi ruangan yang penuh membuat pasien dalam kondisi stagnant (tertahan) di IGD, sehingga beban tugas dokter dan perawat bertambah berat setelah triage dilakukan dan Tools tidak cocok di terapkan di Instalasi gawat darurat


8.       (Menurut pandangan Anda) Apa dampak yang ditimbulkan baik bagi pasien, keluarga dan tenaga kesehatan itu sendiri bila hal tersebut tidak dilakukan ?

  1. Angka kejadian yang tidak diharapkan (KTD) bisa meningkat dan angka mortalitas di IGD akan Naik
  2. Kalaupun tidak dilaksanakan maka akan tidak berdampak signifikan
  3. patient savety akan susah diwujudkan dan kualitas pelayanan kurang optimal, medical error meningkat dan laporan KTD semakin banyak   dan ujung-ujungnya kepuasan pasien dan keluarga menurun
  4. justru EWS akan memperberat kerja perawat dan dokter, karena beban pengisian format lebih banyak, takutnya pelayanan menjadi terhambat


3.4  Pembahasan Kajian Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal IGD
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh bahwa sebagian perawat belum paham terkait tata kelola klinis. Mereka berpandangan bahwa tata kelola klinis merupakan bagian dari manajemen pelayanan dengan cara untuk mengelola praktik asuhan yang baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang optimal. Secara konseptual tata kelola klinis adalah upaya peningkatan mutu pelayanan dalam menjamin kualitas pelayanan dengan membangun lingkungan pelayanan klinis yang baik dalam suatu orgaisasi penyelenggara pelayanan kesehatan (Sale, 2005).
Pelayanan klinis merupakan core business dari rumah sakit yang perlu mendapat perhatian khusus terutama yang menyangkut keselamatan pasien dan profesionalisme dalam pelayanan. Untuk pengembangan sistem pelayanan klinis dilakukan melalui penerapan good clinical governance. Konsep ini dikembangkan oleh National Health System (NHS) dan diadopsi di indonesia untuk peningkatan mutu pelayanan klinis di rumah sakit dan menjamin keselamatan pasien, yang diharapkan menjadi kerangka kerja dalam meningkatkan mutu pelayanan klinis di rumah sakit.
Standar pelayanan minimal merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap warga dan merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal di IGD meliputi kemampuan menangani lifesaving anak dan dewasa; jam buka pelayanan gawat darurat; sertifikasi pemberi pelayanan kegawatdaruratan; ketersediaan tim penanggulangan bencana; Respon time dokter; kepuasan pelanggan; kematian pasien kurang dari 24 jam; serta jenis pembiayaan pelayanan di IGD (Putra, Rattu dan Pangoh, 2017).
Hatibie (2015) menjelaskan kepuasan pelanggan adalah pernyataan tentang persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan. Factor yang mempengaruhi diantaranya bukti fisik (tangibles), kehandalan (reliability), daya tangga (responsiveness), jaminan (assurance) dan perhatian (emphaty). Factor-faktor pada kepuasan pelanggan ini juga berbading lurus dengan indicator standar pelayanan minmal IGD lainnya, seperti kematian pasien kurang dari 24 jam di RS yang juga dipengaruhi oleh berbagai factor. Hasil penelitian Limantara, Herjunianto dan Roosalina (2015) menjelaskan bahwa factor yang mempengaruhi tingginya kematian di IGD diantaranya factor pre-hospital, sumber daya manusia, kinerja monitrong kominte mutu dan optimalisasi SPO pengelolaan emergency. Hasil analisis lebih lanjut menunjukan bahwa factor kontributor utama adalah belum optimalnya standar prosedur oprasional pengelolaan emergency meskipun response time sudah cukup optimal.
Kematian dijadikan salah satu indikator mutu pelayananan kesehatan yang pening. Tingginya angka kematian di rumah sakit merupakan pertanda kemungkinan adanya masalah mutu pelayanan yang memerlukan tindakan perbaikan dan kurang lebih 22,7% kematian yang terjadi sebenarnya dapat dihindarkan dengan perawaatan yang optimal (Behal dan Finn, 2009). Pelayanan di IGD merupakan layanan yang bersifat integrative dengan melibatkan sejumlah tenaga kesehatan secara bersama-sama. Apabila kematian di IGD tinggi berarti mutu rumah sakit tersebut kurang baik, kepercayaan masyarakat menurun, pencitraan rumah sakit menurun, menurunkan kunjungan ulang dan pendapatan rumah sakit hingga maslaah hukum bagi rumah sakit. Proses untuk menurunkan tingginya angka kematian di IGD bukanlah proses yang berdiri sendiri, namun merupakan kesatuan tahapan pelayanan pasien (Limantara, Herjunianto dan Roosalina, 2015).
Tangung jawab rumah sakit dan staf yang terpenting adalah memberikan asuhan dan pelayanan pasien yang efektif dan aman. Asuhan dapat berupa upaya pencegahan, paliatif, kuratif, atau rehabilitative termasuk anastesia, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif atau kombinasinya yang berdasar assessment dan assessment ulang. Sesuai dengan Standar Pelayanan dan Asuhan Pasien 3 (PAP-3) dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit tahun 2017, dijelaskan rumah sakit menetapkan regulasi asuhan pasien resiko tinggi yang diberikan berdasarkan panduan praktik klinis dan peraturan perundang-undangan. Pelayanan yang risiko tinggi dilaksanakan pada pasien kerena tersedia peralatan medis yang kompleks untuk kebutuhan pasien dengan kondisi darurat yang mengancam jiwa, sifat tindakan, mengatasi potensi bahaya bagi pasien atau mengatasi intoksikasi obat resiko tinggi. Dalam hal ini rumah sakit bertanggung jawab untuk melaksanakan regulasi asuhan pasien resiko tinggi dengan mengidentifikasi rencana tindakan, dokumentasi, keperluan informed consent, monitor pasien, dan kualifikasi khusus staf dalam proses asuhan serta melengkapi teknologi medis kusus (Komite Akreditasi Rumah Sakit, 2017).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan kepada beberapa perawat dan dokter di IGD Rumah Sakit dr Iskak Tulungagung sebagai salah satu unit yang menjalankan manajemen asuhan pasien resiko tinggi terkait pelayanan klinis didapatkan data: triage primer dilakukan sebagai penatalaksanaan/penanganan saat pasien datang pertama kalinya, selanjutnya ini digunakan sebagai dasar penetapan prioritas tindakan. Pada hal ini apakah pasien masuk kondisi kritis (zona merah), kondisi semi kritis (zona kuning), atau kondisi non kritis (zona hijau). Kemudian pasien dilakukan observasi, namun observasi yang dilakukan disini hanya sebatas observasi tanda-tanda fisiologis, dengan sedikit perhatian pada longitudinal/ continuous monitoring (monitoring berkelanjutan) sejak pasien dilakukan observasi pertama kalinya.
Data wawancara menunjukkan, petugas keseahtan menyebutkan belum adanya skor spesifik yang dibuat untuk mendeteksi perburukan kondisi pasien, memprediksi pasien masuk ICU ataupun kematian di area emergensi. Sehingga demikian, dapat dikatakan pengetahuan dan pelaksanaan tindakan continuous monitoring oleh perawat dan dokter di IGD masih lemah. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kondsi ini terletak pada : 1) risiko terjadinya kejadian admisi ICU yang tidak terprediksi; 2) serious clinical adverse events; 3) berisiko meningkatnya kematian di IGD.
Spesifik pada Standar PAP 3.1 Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit tahun 2017 menjelasakan bahwa staf klinis dilatih untuk mendeteksi (mengenali) perubahan kondisi perburukan pasien dan mampu melaksanan tindakan. Staf yang tidak bekerja didaerah pelayanan intensif mungkin tidak memiliki pengetahuan dan pelatiahan yang cukup untuk melakukan asesmen seta mengetahui pasien yang akan masuk dalam kondisi kritis. meskipun demikian banyak pasien diluar area pelayanan kritis mengalami keadaan kritis. Sebagian besar pasien yang mengalami gagal jantung atau paru memperlihatkan tanda fisiologis diluar kisaran normal yang merupakan indikasi perburukan pasien. Hal ini dapat dinilai dengan penerapan Early Warning System (EWS) yang membuat staf mempu mengidentifikasi keadaan perburukan apsien sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang kompeten, sehingga hasil asuhan akan lebih baik (Komite Akreditasi Rumah Sakit, 2017).
Alam et al (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa NEWS (National Early Warning Score) merupakan prediktor yang baik pada outcome pasien.Sistem ini sangat membantu untuk memantau pasien secara longitudinal selama mereka tinggal di IGD dan di rumah sakit. Menurut National Clinical Guideline (2013), EWS merupakan alat untuk mendeteksi dini perburukan kondisi pasien dengan mengakategorikan keparahan penyakit dan mendorong staf keperawatan untuk melakukan tinjauan medis menggunakan alat komunikasi terstruktur sambil mengikuti rencana yang telah ditetapkan. Parameter pengukuran EWS yaitu menggunakan parameter fisiologis tubuh pasien meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran. EWS dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi kematian yang terjadi di IGD, membedakan perawatan yang akan dilakukan pada pasien (perawatan biasa atau di ruang intensif care), maupun untuk menskrining pasien yang berisiko mengalami syok septik.
Perawat dan dokter yang telah diwawancarai mengatakan bahwa “sangat sulit menentukan keputusan klinis untuk pasien mana yang harus up triage, ini disebabkan karena kondisi IGD yang seringkali over-crowded”; “banyaknya kewajiban petugas dalam mengisi status pasien yang menyita banyak waktu”;  “terbatasnya jumlah petugas yang menangani pasien apabila terjadi over-crowded,”; “ditambah kondisi ruangan yang penuh, membuat pasien dalam konsdisi stagnant di IGD, sehingga beban tugas dokter dan perawat bertambah berat, setelah triage pertama dilakukan.”
Menurut mereka, tata kelola pasien emergensi dengan menggunakan early warning score sebagai tool standar dalam deteksi dini perburukan kondisi atau identifikasi dini melalui perubahan tanda-tanda fisiologis dirasa sangat berat dan susah diterapkan di area emergensi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tool ini dirasa tidak cocok diterapkan di IGD. Jadi dapat dikatakan bahwa tingkat pengetahuan mereka baik perawat ataupun dokter terkait managemen pasien khususnya longitudinal monitoring atau continuous monitoring (monitoring berkelanjutan) di IGD masih buruk. Apabila kondisi ini terus berlanjut tentunya akan berkontribusi pada peningkatan medical error, sehingga pencapaian patient savety akan susah terwujud.






BAB IV
PENUTUP

4.1.Simpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan kepada beberapa perawat dan dokter di IGD Rumah Sakit dr Iskak Tulungagung, didapatkan data: triage primer dilakukan sebagai penatalaksanaan/penanganan saat pasien datang pertama kalinya, selanjutnya ini digunakan sebagai dasar penetapan prioritas tindakan. Kemudian pasien dilakukan observasi, namun observasi yang dilakukan disini hanya sebatas observasi tanda-tanda fisiologis, dengan sedikit perhatian pada longitudinal/ continuous monitoring (monitoring berkelanjutan) sejak pasien dilakukan observasi pertama kalinya. Sehingga demikian, dapat dikatakan pengetahuan dan pelaksanaan tindakan continuous monitoring oleh perawat dan dokter di IGD masih lemah.
Meskipun demikian, sebenarnya instrument longitudinal monitoring yang ditujukan untuk menilai perburukan pasien telah dikembangkan dan berbagai uji reliabilitas telah dilaksanakan guna mengoptimalkan pelayanan khususnya salah satu implementasi manajemen asuhan di IGD. Apabila kondisi ini terus berlanjut tentunya akan berkontribusi pada peningkatan medical error, sehingga pencapaian patient savety akan susah terwujud.

4.2.Saran
Diharapkan bagi mahasiswa dan perawat umumnya dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara paripurna dengan bekerjasama dengan multidisiplin lainnya pada kondisi kegawatdarurataan khususnya dalam menerapkan manajemen asuhan (tata kelola klinis) pada kondisi monitoring berkelanjutan menggunakan system skoring yang terlah dikembangkan dan dinyatakan valid dalam menilai kondisi perburukan pasien yaitu Early Warning Score System.





DAFTAR PUSTAKA

Alam, N., Vegting, I. L., Houben, E., van Berkel, B., Vaughan, L., Kramer, M. H. H., & Nanayakkara, P. W. B. (2015). Exploring the performance of The National Early Warning Score (NEWS) in a European emergency department. Resuscitation, 90, 111–115. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2015.02.011

Bilben, B., Grandal, L., & Søvik, S. (2016). National Early Warning Score (NEWS) as an emergency department predictor of disease severity and 90-day survival in the acutely dyspneic patient - a prospective observational study. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 24(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s13049-016-0273-9

Behal, R dan Finn J. (2009). Understanding and improving inpatient mortality in academic medical centers. Academic medicine: Journal of the association of Amedican Medical Colleges. 84(12): 1657-1662.

Brabrand, M., Folkestad, L., Clausen, N. G., Knudsen, T., & Hallas, J. (2010). Risk scoring systems for adults admitted to the emergency department: a systematic review. Scand.J.Trauma Resusc.Emerg.Med., 18, 8--8-. https://doi.org/10.1186/1757-7241-18-8

Chandraharan, E., & Arulkumaran, S. (2007). Clinical governance. Obstetrics, Gynaecology and Reproductive Medicine, 17(7), 222–224. http://doi.org/10.1016/j.ogrm.2007.05.003

Considine, J., Lucas, E., & Wunderlich, B. (2012). The uptake of an Early Warning System in an Australian emergency department: a pilot study. Critical Care and Resuscitation : Journal of the Australasian Academy of Critical Care Medicine, 14(2), 135–41.

Corfield, A. R., Lees, F., Zealley, I., Houston, G., Dickie, S., Ward, K., & McGuffie, C. (2014). Utility of a single early warning score in patients with sepsis in the emergency department. Emergency Medicine Journal, 31(6), 482–487. https://doi.org/10.1136/emermed-2012-202186

Fauzi, D. A. (2017). Panduan Pelaksanaan Early Warning System ( Ews ) Rumah Sakit Umum Wiradadi Husada.

Guarracino, F., Cabrini, L., Baldassarri, R., Petronio, S., De Carlo, M., Covello, R. D., … Ambrosino, N. (2010). Noninvasive Ventilation for Awake Percutaneous Aortic Valve Implantation in High-Risk Respiratory Patients: A Case Series. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia. https://doi.org/10.1053/j.jvca.2010.06.032

Halligan,  a, & Donaldson, L. (2013). Implementing clinical governance: turning vision into reality. BMJ (Clinical Research Ed.), 322, 1413–1417. http://doi.org/10.1136/bmj.322.7299.1413

Hatibie, TWB. (2015). Analisis factor yang berhubungan denan kepuasan pasien di IRJ bedah RSUP Prof. Dr. R.D. Kandau Manado. Tesis. Program Pascasarjana prodi ilmu kesehatan masyarakat. Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Ho, L. (2016). Pediatric Early Warning Scores, 18(1), 68–73.

Keep, J., Messmer,  a., Sladden, R., Burrell, N., Pinate, R., Tunnicliff, M., & Glucksman, E. (2015). National early warning score at Emergency Department triage may allow earlier identification of patients with severe sepsis and septic shock: a retrospective observational study. Emergency Medicine Journal, 33(1), 1–5. https://doi.org/10.1136/emermed-2014-204465

Komite Akreditasi Rumah Sakit. (2017). Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit. Edisi 1. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indinesia.

Limantara, R, Herjunianto. dan Roosalina, A. (2015). Factor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian di IGD Rumah Sakit. Jurnal Kedoketeran Brawijaya. 28(2): 200-205.

McClish, D. K., & Powell, S. H. (1989). How Well Can Physicians Estimate Mortality in a Medical Intensive Care Unit? Medical Decision Making, 9(2), 125–132. https://doi.org/10.1177/0272989X8900900207

Physicians, R. C. of. (2012). National Early Warning Score (NEWS). I Dont Know, (1). https://doi.org/10.1111/j.1478-5153.2012.00540_3.x

Putra, IWAP., Rattu, AJM., dan Pongoh, J. (2017). Analisis pelaksanaan standar pelayanan minimal di instalasi gawat darurat rumah sakit GMIM Kaloran Amurang. Tesis. Program Pascasarjana podi Ilmu kesehatan masyarakat. Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Reini, K., Fredrikson, M., & Oscarsson, A. (2012). The prognostic value of the Modified Early Warning Score in critically ill patients: A prospective, observational study. European Journal of Anaesthesiology, 29(3), 152–157. https://doi.org/10.1097/EJA.0b013e32835032d8

Sale, D. (2015). Understanding clinical governance and quality assurance making it happen. New York: Palgrave Maemillan.

Sbiti-Rohr, D., Kutz, A., Christ-Crain, M., Thomann, R., Zimmerli, W., Hoess, C., … Schuetz, P. (2016). The National Early Warning Score (NEWS) for outcome prediction in emergency department patients with community-acquired pneumonia: results from a 6-year prospective cohort study. BMJ Open, 6(9), e011021. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2015-011021

Scally, G., & Donaldson, L. J. (1998). Clinical governance and the drive for quality improvement in the new NHS in England. Bmj, 317(7150), 61–65. http://doi.org/10.1136/bmj.317.7150.61
Skitch, S., Tam, B., Xu, M., McInnis, L., Vu, A., & Fox-Robichaud, A. (2018). Examining the utility of the Hamilton early warning scores (HEWS) at triage: Retrospective pilot study in a Canadian emergency department. Canadian Journal of Emergency Medicine, 20(2), 266–274. https://doi.org/10.1017/cem.2017.21

Smith, G. B., Prytherch, D. R., Meredith, P., Schmidt, P. E., & Featherstone, P. I. (2013). The ability of The National Early Warning Score (NEWS) to discriminate patients at risk of early cardiac arrest, unanticipated intensive care unit admission, and death. Resuscitation, 84(4), 465–470. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2012.12.016

Soeharto.S, F. M. (2016). Vitalpac early warning scoring. J.K. Mesencephalon, 3(Oktober), 74–79.

Yoo, J. W., Lee, J. R., Jung, Y. K., Choi, S. H., Son, J. S., Kang, B. J., … Hong, S. B. (2015). A combination of early warning score and lactate to predict intensive care unit transfer of inpatients with severe sepsis/septic shock. Korean Journal of Internal Medicine, 30(4), 471–477. https://doi.org/10.3904/kjim.2015.30.4.471

No comments:

Post a Comment

 
loading...